NEW YORK-Harga minyak mentah turun sekitar 2% pada akhir perdagangan Jumat atau Sabtu (23/3) pagi WIB tergelincir lebih jauh dari tertinggi 2019. Hal ini dipicu kekhawatiran investor atas kurangnya kemajuan dalam pembicaraan perdagangan Amerika Serikat (AS)-China dan data manufaktur suram dari Jerman dan AS menyalakan kembali kekhawatiran perlambatan ekonomi global dan permintaan minyak.

Indeks-indeks utama Wall Street anjlok antara 1-2%, setelah produsen-produsen di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat menderita pada Maret karena survei menunjukkan ketegangan perdagangan telah mempengaruhi produksi pabrik, sebuah kemunduran karena harapan ekonomi global akan mengubah sudut pada perlambatannya.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei turun US$0,83 atau 1,2%, menjadi ditutup pada 67,03 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, dan turun sekitar 0,2% pada minggu ini. Kontrak mencapai level tertinggi empat bulan di US$68,69 pada Kamis (21/3).

Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei turun US$0,94 atau 1,6%, menjadi menetap pada US$59,04 per barel di New York Mercantile Exchange. WTI mencapai tertinggi 2019 pada Kamis (21/3) di US$60,39 dan naik 0,8% pada minggu ini.
Acuan global minyak mentah Brent telah meningkat lebih dari 20% sejak awal Januari karena pemotongan pasokan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, seperti Rusia, dan sanksi-sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.

“Data PMI mengecewakan hari ini dari Jerman dan Prancis mendorong kenaikan dolar lebih lanjut, sementara pada saat yang sama menekan selera risiko global,” kata Presiden Ritterbusch and Associates, Jim Ritterbusch, seperti dikutip Reuters.

Dolar AS naik terhadap euro pada Jumat (22/3) ke level tertinggi dalam lebih dari seminggu. Dolar AS yang kuat membuat minyak lebih mahal untuk pemegang mata uang lainnya.

“Fakta bahwa faktor-faktor makro ini mampu mengimbangi dampak harga dari laporan bullish EIA yang luar biasa membuktikan kerapuhan pergerakan bull dalam tiga bulan dalam minyak.”

Data Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Rabu (20/3) menunjukkan bahwa stok minggu lalu turun hampir 10 juta barel, terbesar sejak Juli, berkat ekspor dan permintaan penyulingan yang kuat.

Karena pertumbuhan ekonomi melambat di Asia, Eropa, dan Amerika Utara, berpotensi mengurangi konsumsi bahan bakar, tidak ada terobosan yang muncul dalam kebuntuan perdagangan antara Washington dan Beijing, setidaknya sebelum pertemuan yang dijadwalkan pada 28-29 Maret.
Jajak pendapat Reuters menyebutkan, tga dari empat perusahaan Jepang memperkirakan friksi perdagangan AS-China berlangsung hingga setidaknya akhir tahun ini.

Lompatan lebih dari dua juta barel per hari dalam produksi minyak mentah AS sejak awal 2018 ke rekor 12,1 juta barel per hari telah menjadikan Amerika Serikat sebagai produsen terbesar dunia, di depan Rusia dan Arab Saudi. Ini menyebabkan peningkatan ekspor dua kali lipat dari tahun lalu menjadi lebih dari 3 juta barel per hari. Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa Amerika Serikat akan menjadi pengekspor minyak mentah bersih pada 2021. (RA)