JAKARTA – Pemerintah diminta untuk lebih ambisius memenuhi amanat Persetujuan Paris. Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dokumen LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, menyampaikan bahwa keterlambatan ini akan merugikan banyak negara berkembang, utamanya bila perdagangan karbon dan carbon capture yang dipilih menjadi salah satu cara untuk mencapai net zero. Selain itu, banyak celah untuk mengelak pengurangan emisi yang ambisius seperti offset perdagangan karbon ke negara berkembang, bukan transformasi secara struktural model bisnis.

“Jika ini dipilih maka negara berkembang akan nantinya mendapat beban ganda, yaitu beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi di negara masing-masing,” ujar Yuyun, dalam diskusi virtual bertema “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070”, Jumat (9/4).

Dalam LTS-LCCR 2050 dipaparkan bahwa dari lima sektor penyumbang emisi yang menjadi fokus Nationally Determined Contribution (NCD), hanya sektor kehutanan dan lahan lainnya (FOLU) yang akan mencapai net sink pada tahun 2030. Sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi (peaing) pada 2030.

Hasil analisa Institute for Essential Services Reform (IESR), menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2050, di antaranya dengan menekan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor pembangkit listrik, transportasi dan industri yang berkontribusi total 406.8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi GRK sektor energi pada 2015.

Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi IESR, mengatakan Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan menjadi 69% pada 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 Giga Watt (GW) pada 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batu bara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal.

Deon menambahkan bahwa berbagai pemodelan global untuk mencapai target Persetujuan Paris menunjukkan upaya lebih ambisius akan bisa membuat setidaknya bauran batu bara pada pembangkit berada di sekitar 5-10% pada 2030.

“Hasil lainnya menyatakan setidaknya bauran bahan bakar bersih pada transportasi mencapai 20-25% pada tahun 2030 dari total permintaan energi sektor transportasi,” kata Deon.

Namun demikian, dokumen LTS-LCCR 2050 menargetkan bahwa dengan skenario ambisius berdasarkan Persetujuan Paris (LCCP), bauran energi primer akan diisi oleh batu bara 34%, gas 25%, minyak 8%, dan energi terbarukan hanya 33% di tahun 2050.
Jika dibandingkan dengan target NDC saat ini, kenaikan target energi terbarukan hanya sebanyak 10% dalam 25 tahun.

Sementara itu, dalam dokumen yang sama, di sektor kehutanan, skenario paling ambisius (LCCP) menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu hektare per tahun dan 2031-2050 sebesar 99 ribu ha per tahun. Hal ini berarti Indonesia masih membenarkan konversi hutan alam sekitar 7 juta ha atau lebih dari 12x Pulau Bali pada periode 2010-2050.

Karena Indonesia telah kehilangan sekitar 4,9 juta ha hutan alam pada 2010-20201, kuota deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya tinggal sekitar 2 juta ha atau 71 ribu ha per tahun.

“Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut, namun ini belum cukup,” ungkap Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Anggalia menekankan, agar Indonesia dapat mencapai netral karbon sebelum 2070, Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC. “Vahkan hingga nol, karena sisa kuota deforestasi hingga 2030 bisa dibilang sudah kita habiskan di dekade lalu,” kata dia.

Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru hingga meliputi hutan alam tersisa akan membantu Indonesia menekan deforestasinya.

Anggalia menjelaskan, perhitungan awal Madani ada sekitar 9,4 juta ha hutan alam di luar konsesi, daerah alokasi perhutanan sosial (PIAPS), dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang harus segera dilindungi dari pemberian izin baru agar tidak terdeforestasi.

Selain itu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Melindungi ekosistem gambut secara menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut yang telah ada, dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat 2019 juga dapat membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Hampir setengah juta hektare (498.500 ha) ekosistem gambut yang terbakar pada 2019 belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020.

“Oleh karena itu, seluruh ekosistem gambut yang terbakar pada 2019, baik di dalam maupun di luar konsesi, harus masuk ke dalam target restorasi gambut 2021-2024 agar kebakaran di area tersebut tidak berulang,” ujar Anggalia.(RA)