JAKARTA – Era transisi energi dapat menjadi momentum bagi perbaikan sektor hulu migas di Indonesia. Gas Bumi merupakan jawaban atas kebutuhan energi di tengah masifnya dorongan global untuk menurunkan emisi karbon. Hanya saja, dibutuhkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan potensi gas bumi yang ada di Indonesia agar segera dapat dimonetisasi, selain soal infrastruktur gas yang sudah menjadi tantangan sebelumnya.

Widhyawan Prawiraatmadja, Praktisi migas yang sekaligus merupakan pengajar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan bahwa keberlanjutan investasi di sektor hulu migas harus dijaga hingga mencapai tahap monetisasi, setelah adanya temuan-temuan sumber daya baru seperti yang terjadi di Wilayah Kerja South Andaman, Provinsi Aceh dan Wilayah Kerja Geng North, Provinsi Kalimantan Timur.

“Pertanyaannya, bagaimana supaya Indonesia dapat jadi tempat nyaman? Mereka melihat dari dari berbagai hal, seperti sumber daya dan kemudahan berusaha. Hal itu menjadi sangat penting. Penemuan sumber daya gas bumi yang ada harus menjadi momentum bagi pemerintah. Tak bisa dipungkiri jika gas bumi akan mendominasi temuan migas di Indonesia saat ini dan ke depannya. Jadi gas itu isunya adalah monetisasi. Akan sangat berbeda keekonomiannya jika sebuah lapangan baru dapat dimonetisasi selama sepuluh tahun atau enam tahun,” katanya dalam sesi diskusi bersama media “Menanti Arah Pemimpin Baru di Sektor Migas” yang diselenggarakan oleh Indonesia Petroleum Association (IPA), di Jakarta, Kamis (1/2).

Lebih lanjut, Widhyawan mengungkapkan, gas bumi dapat menjadi jembatan menuju era Energi Baru dan Terbarukan. Oleh karena itu, dia mengaku tidak akan kaget jika kebutuhan gas bumi ke depannya akan terus meningkat. “Karena tidak ada pilihan lain dalam era transisi energi, jika kita mau menggunakan energi yang rendah emisi,” ujarnya.

Namun dia mengungkapkan adanya tantangan nyata yang harus dihadapi dalam konteks pengembangan gas bumi di Indonesia. Menurutnya, tata kelola gas bumi yang ada saat ini dinilai belum menunjukkan adanya keberpihakan dari pemerintah kepada sektor hulu. Hal tersebut bisa dilihat dari penerapan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang diberlakukan pemerintah untuk beberapa sektor industri. “Kebijakan harga gas itu ada berbagai kepentingannya. Kita tahu LPG harganya dibuat murah, tetapi membuat distorsi karena harga hulu yang justru dibatasi,” ungkapnya.

Sementara itu, A. Rinto Pudyantoro, Akademisi Ekonomi dan Energi dari Universitas Pertamina, mengatakan bahwa pemerintah ke depan wajib menjaga kondisi yang kondusif dan mengurangi polemik di sektor energi demi memastikan terjaganya iklim investasi  yang baik di Indonesia.

“Keributan akibat aturan kontroversial pasti akan membuat investor berpikir ulang. Sektor migas itu kalau nggak ribut atau tenang-tenang saja selama lima tahun ke depan diyakini akan berkembang. Justru yang dapat dilakukan oleh pemerintah pada periode tersebut adalah sejumlah pembenahan atau perbaikan pada beberapa persoalan yang dianggap menganggu operasional, seperti perijinan dan tax treaty,” jelasnya.

Menurut Rinto, dari 12 instrumen yang berpengaruh pada keputusan berinvestasi di Indonesia, terdapat satu instrumen yang dikendalikan oleh pemerintah seratus persen, yaitu kebijakan fiskal. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan kebijakan fiskal yang dibuatnya akan meningkatkan gairah investor untuk berinvestasi. “Pemerintah memiliki kendali 100% terhadap kebijakan fiskal. Pemerintah bisa melakukan perubahan kebijakan apa saja dan kapan saja. Oleh karena itu, kebijakan tersebut seharusnya berdampak pada kemudahan berinvestasi,” ungkap Rinto.

Iklim investasi sektor hulu migas Indonesia memang mulai menunjukkan pergerakan yang positif. Menurut data SKK Migas, realisasi investasi hulu migas pada 2023 mencapai US$13,7 miliar, naik dari dari tahun sebelumnya sebesar US$12,1 miliar. Tahun ini, SKK Migas menargetkan nilai investasi hulu migas akan meningkat mencapai US$17,7 miliar.

Sementara itu, Marjolijn Wajing, Direktur Eksekutif IPA, yang ditemui di sela-sela acara  mengungkapkan bahwa temuan beberapa sumber daya gas bumi dalam jumlah besar belakangan ini seharusnya bisa menimbulkan kepercayaan diri bagi para pelaku usaha di tengah kondisi banyaknya lapangan tua dan target produksi migas yang terus menurun.

“Saya kok sekarang melihat sektor hulu migas Indonesia seperti sedang take off. Untuk itu, momen yang ada saat ini sangat penting dijaga dan didukung oleh berbagai kebijakan yang tepat dari pemerintah. Harus diakui bahwa ada banyak hal yang berubah dalam tata cara pengelolaan di sektor hulu migas saat ini dimana kita sedang menuju ke arah yang benar. Kita harus terus mendorongnya,” kata Marjolijn. (RI)