JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) gerah dengan realisasi produksi minyak siap jual (lifting) minyak yang terus dibawah target. Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan tidak tercapainya target lifting minyak tidak lepas dari kegiatan lifting yang kerap terlambat.

Jonan meminta intensitas kegiatan lifting minyak harus bisa ditingkatkan agar jumlahnya tidak jauh berbeda dengan minyak yang sudah diproduksikan.

“Saya juga tidak happy,  karena orang tanya lifting minyak. Tiap bulan itu harus sama atau lebih dari target. Jangan ditumpuk bulanan, kan ini harian. Kalau bisa, paling tidak seminggu” kata Jonan disela pelantikan pejabat SKK Migas, di Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (4/4).

Dalam realisasi lifting minyak di kuartal pertama tahun ini ada perbedaan dengan jumlah produksi. Jumlah lifting tertinggal jauh dari target.

Rata-rata lifting minyak hingga kuartal I adalah sebesar 745 ribu barel per hari (bph). Sementara rata-rata produksi sebesar 764 ribu bph dengan target Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 dipatok sebesar 775 ribu bph. Artinya ada selisih sekitar 21 ribu barel antara realisasi lifting dan produksi minyak.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) mengakui ada penumpukan minyak di kilang penyimpanan setelah diproduksi dan belum tercatat sebagai lifting.

Namun juga harus dilihat kondisi kesiapan kapal pengangkut minyak yang sampai sekarang masih terbatas, sehingga intensitas kegiatan lifting juga terbatas.

“Memang tadi jangan numpuk di belakang,  harus diupayakan. Lifting itu juga kaitannya dengan pengapalan. Tidak akan mungkin liftng kalau kapal tidak siap,” kata Dwi.

Baca juga  Hingga Kuartal I 2019, Lifting Migas Baru 94,6% dari Target

Selain itu, dalam proses lifting juga harus memperhatikan efisiensi dalam proses lifting itu sendiri. Ini berkaitan dengan stok minyak di kilang penyimpanan. “Kan tidak efisien juga kalau tidak penuh (minyaknya), tapi diangkut,” kata Dwi.

Menurut Dwi,  stok minyak di kilang penyimpanan bisa menumpuk. Selain karena keterbatasan kapal dan mempertimbangkan efisiensi, kondisi non teknis seperti cuaca saat proses lifting juga turut memberikan pengaruh.

“Kalau diakhir itu takutnya nanti meleset. Ada hujan atau apa, kendala teknis pengapalan maka itu akan digeser ke bulan berikutnya. Jadi realisasinya (lifting) rendah. Itu arahannya begitu. Kami juga sama, lifting harus bisa menguras semua produksi pada hari itu,” ungkap Dwi.

Fatar Yani Abdurrahman, Deputi Operasi SKK Migas, menambahkan untuk realisasi lifting selanjutnya akan didorong tidak jauh berbeda dengan realisasi produksi. Pada realisasi lifting hingga Maret 2019 terjadi selisih cukup tinggi lantaran adanya penumpukan mencapai 2 juta-3 juta barel yang tersisa dari akhir tahun lalu.

“Makanya sekarang kami rearrange lagi. Mudah-mudahan April, Mei itu akan naik di atas 100% untuk mengejar ketertinggalan di  Januari-Februari, ketinggalan 1%-2%,” kata Fatar.(RI)