JAKARTA – Pemerintah tidak boleh kehilangan momentum dalam pengembangan beberapa proyek gas dengan cadangan besar seperti proyek gas di Masela dan Indonesia Deepwater Development (IDD). Pasalnya gas yang diproduksikan nanti akan bersaing dengan berbagai gas yang diproduksikan dari blok lain yang sedang dikerjakan.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, mengatakan jika terus menerus tidak ada kepastian ataupun kejelasan pada akhirnya bisa mementahkan kembali rencana pengembangan proyek hulu migas dan investasi yang sudah ada. Kondisi ini tentu berbahaya bagi kelangsungan proyek.

“Kalau pada akhirnya sampai benar-benar kehilangan momentum dan investornya pergi,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Senin (27/5).

Pri mengatakan kondisi dan detail di setiap kasus tentu bisa berbeda, namun untuk proyek Masela dan IDD sama-sama memiliki risiko yang bermula dari adanya ketidakpastian dalam berinvestasi terkait persetujuan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD).

Pemerintah harus menghindari terbengkalainya dua proyek gas raksasa ini agar tidak bernasib seperti halnya blok East Natuna yang tidak kunjung dikembangkan padahal menyimpan cadangan gas terbesar sejauh ini.

“Kita tidak tahu akan dapat dikembangkan kapan (Masela dan IDD) nasibnya bisa sama dengan East Natuna yang hingga kini kemudian belum juga dikembangkan,” ungkapnya.

Hampir dua tahun terakhir tidak ada lagi kelanjutan pengembangan Blok East Natuna. Hal ini seiring keputusan Exxonmobil yang sebelumnya merupakan bagian dari konsorsium East Natuna bersama PT Pertamina (Persero) dan PTT EP memilih hengkang dan tidak melanjutkan kerja sama. Tidak berapa lama kemudian PTT juga memutuskan keluar dari konsorsium. Alhasil tersisa Pertamina yang kini menjadi andalan untuk mengelola blok yang ditaksir memiliki total cadangan gas sebesar 46 TCF atau empat kali cadangan Blok Masela yang mencapai 10,7 TCF.

Persaingan terhadap pasar LNG dunia juga dipastikan terus berkembang dan harus jadi perhatian pemerintah dalam mengambil keputusan di Masela dan IDD. Dalam data Wood Mackenzie,Proyek Masela dan IDD masih kalah kompetitif dengan proyek LNG dunia. Dalam data tersebut, estimasi harga LNG dari dua proyek tersebut, tercatat di atas 12% harga minyak Brent di kisaran US$ 70 per barel. Sementara enam proyek LNG lainnya di bawah estimasi tersebut. Bahkan, dua proyek di Qatar dan Papua Nugini, harganya diperkirakan bisa di bawah 12% dari Brent US$50 per barel.

“Jadi seperti IDD, semakin ditunda, keekonomiannya akan terpengaruh. Padahal ada berbagai proyek di luar negeri. Kadang yang kita takutkan begitu,” ujar Pri Agung.

Dua proyek yang telah masuk dalam proyek strategis nasional tersebut memiliki jalan panjang dalam persiapan penggarapan fisiknya. Data SKK Migas menyebutkan dua proyek tersebut memiliki cadangan besar dan diproyeksi akan menjadi penopang produksi gas nasional di masa akan datang.

Untuk Proyek Pengembangan Lapangan Abadi, Blok Masela diproyeksikan menghasilkan gas sebesar 9,5 juta ton per tahun (MTPA) gas alam cair dan 150 MMSCFD gas pipa. Proyek tersebut diperkirakan bisa mulai berproduksi pada kuartal II 2027. Untuk Proyek IDD diestimasikan akan mencapai puncak produksi 844 MMSCFD  gas dan 27 ribu bph untuk minyak. Proyek tersebut diperkirakan mulai onstream pada kuartal I 2024.

Proyek Abadi, Blok Masela, persetujuan PoD sebenarnya didapatkan Inpex Corporation pada 6 Desember 2010. Kala itu, proyek kilang LNG di sepakati untuk dibangun di Laut Arafuru dengan target konstruksi dimulai pada 2013 dan mencapai tahap produksi pada 2018. Namun, kemudian Inpex Corporation selaku operator mengusulkan revisi POD lantaran adanya tambahan cadangan gas.

Sayangnya, revisi PoD ini tak juga disetujui pemerintah. Drama semakin panjang terkait perdebatan mengenai kilang LNG terapung atau darat rampung, pembahasan revisi PoD kini masih berkutat soal besaran biaya pengembangan proyek.

Sampai saat ini Inpex telah melakukan workshop penyiapan kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA ANDAL) dan analisis dampak lingkungan (Amdal). Perusahaan migas asal Jepang itu juga sudah memulai baseline survey dengan penentuan batas survei.

Sementara itu, Chevron yang jadi operator proyek memperoleh PoD pada 16 Oktober 2008. Pada saat itu, Seluruh Proyek IDD ditargetkan mulai beroperasi pada kuartal keempat 2017. Namun hingga kini, proyek ini belum juga masuk tahap konstruksi lantaran ada perubahan PoD.

Amendemen PoD itu sampai saat ini belum juga rampung. Pemerintah dan Chevron Indonesia masih bernegosiasi terkait keekonomian proyek. Selain itu, hingga April lalu, Chevron baru melakukan workshop dan mengirimkan surat permohonan Amdal. Perusahaan migas asal Amerika Serikat itu juga sudah mengajukan persetujuan pengeluaran (Authorization for Expenditure/AFE) untuk survei dan menyusun dokumen lelang desain rinci (Front End Engineering Design/FEED).

Kementerian ESDM baru saja menyambangi kantor pusat kedua perusahaan operator dua proyek gas tersebut. Pertemuan tersebut diklaim menunjukkan kemajuan dalam pengembangan proyek.

Berdasarkan data Wood Mackenzie, setidaknya terdapat beberapa proyek LNG dengan kapasitas sekitar 100 juta ton per tahun yang akan mencapai keputusan investasi akhir Final Investment Decision (FID) pada 2019-2020. Beberapa proyek ini yakni Tortue Ahmeyim FLNG di lepas pantai Mauritania dan Senegal, North Field LNG in Qatar, Area 1 di Mozambik, Arctic LNG 2 di Rusia, Papua LNG di Papua Nugini, dan Calcasieu Pass LNG di Amerika Serikat.

Pri Agung menuturkan dengan adanya proyek LNG lain yang perlu dikhawatirkan adalah terjadinya buyer market atau pasar dikendalikan pembeli. Pasalnya, dengan banyak proyek yang beroperasi dalam rentang waktu tak jauh berbeda, maka pasar LNG dunia akan jenuh atau kelebihan pasokan.

“Didikte oleh buyer, bukan seller ini yang ditakutkan. Kalau hilang momentum, itu bubar (proyek). Lihatlah dunia luar, investasi hulu migas itu bukan lokal saja,” kata Pri Agung.(RI)