JAKARTA – PT Pertamina (Persero) saat ini tengah mengerjakan proyek kilang, baik kilang baru maupun pengembangan kilang eksisiting. Dalam pengerjaan proyek itu perseroan tidak akan sendiri dan akan menggandeng mitra.

Seiring dengan perjalanan waktu pencarian mitra harus menemui tantangan berat yakni anjloknya harga minyak dunia sehingga mempengaruhi margin bisnis kilang dan mempengaruhi gairah pelaku usaha.

Daniel Purba, Senior Vice President Corporate Strategic Growth Pertamina,  mengatakan jatuhnya harga minyak mentah di awal 2020 menggerus margin bisnis pengolahan bahan bakar minyak (BBM) di dunia, termasuk proyek pembangunan kilang.

Harga minyak yang anjlok membuat crack spread kilang diproyeksikan masih rendah dalam dua tahun ke depan di masa pemulihan pasca pandemi Covid-19. Crack spread adalah selisih antara harga produk jadi (BBM) dan harga minyak mentah. Semakin rendah selisih harga, maka margin yang diperoleh dari proyek kilang semakin kecil.

Menurut Daniel, jika selisih harga produk jadi dan bahan baku makin kecil artinya bisnis pengolahan minyak menjadi less attractive.

“Tetapi ini berbeda bagi Pertamina yang harus menyediakan BBM ke seluruh Indonesia. Ini menjadi tantangan saat ini dan ke depan, dengan rendahnya crack spread sangat mempengaruhi investor dalam membangun kilang, karena tingkat margin makin kecil dibanding beberapa tahun ke belakang. Crack spread makin kecil berpengaruh pada pembangunan kilang di dunia,” kata Daniel, Senin (30/11).

Daniel mengatakan sebagai BUMN, Pertamina tetap harus menyediakan BBM di seluruh Indonesia. Untuk itu, Pertamina  menyiapkan strategi untuk membuat proyek kilang perseroan tetap menguntungkan.

Agar minat para pelaku usaha tetap tinggi maka Pertamina akan mengintegrasikan seluruh proyek kilang dengan pabrik petromikimia. Sehingga, produksi kilang Pertamina tidak lagi dominan BBM. “Saat ini tren dalam pembangunan kilang tidak hanya untuk BBM, namun juga petrokimia, sehingga value added yang didapatkan bisa men-justified investasi yang dilakukan,” ungkap Daniel.

Pertamina saat ini menggarap upgrading lima kilang miliknya, yakni Kilang Dumai, Plaju, Balikpapan, Balongan, dan Cilacap. Selain itu, perseroan juga membangun satu unit kilang baru berkapasitas 300 ribu barel per hari (bph) di Tuban, Jawa Timur dan proyek kilang hijau atau green refinery di Komplek Kilang Plaju.

Proyek kilang Pertamina yang diintegrasikan dengan pabrik petrokimia diantaranya adalah Kilang Tuban yang bermitra dengan Rosneft perusahaan asal Rusia dengan rencana kilang tersebut bisa memproduksi produk-produk petrokimia,yakni polipropilen 1,3 juta ton per tahun, polietilen 0,65 juta ton per tahun, stirena 0,5 juta ton per tahun dan paraksilen 1,3 juta ton per tahun.

Pertamina telah menandatangani frame work agreement dengan China Petroleum Corporation (CPC) Taiwan membangun komplek petrokimia di Balongan, Jawa Barat senilai US$6,49 miliar untuk membangun pabrik naphta cracker dan unit pengembangan sektor hilir petrokimia berskala global di Indonesia. Pabrik naphtha cracker diharapkan akan memproduksi paling sedikit 1 juta ton ethylene per tahun. Selain itu, keduanya juga akan membangun unit hilir yang akan memproduksi produk turunan kilang lainya untuk memenuhi kebutuhan industri di Indonesia.

Proyek akan dikerjakan dengan skema joint venture antara Pertamina, CPC Taiwan, dan beberapa mitra hilir potensial lainnya.

Meski margin tipis bukan berarti mitra benar-benar tidak berminat. Indonesia kata Daniel memiliki keunggulan besarnya potensi pasar dengan jumlah penduduk yang banyak. “Dalam mencari mitra, cukup banyak yang berminat karena pasar yang cukup besar untuk energi dengan penduduk Indonesia yang cukup besar,” ujar Daniel.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa manajemen juga melakukan optimasi marjin dan jenis produk dengan mengendalikan tingkat produksi kilang untuk mitigasi akses produk kilang. Kemudian kilang beroperasi dengan mode gasoline (bensin) guna mengurangi impor produk tersebut dan juga avtur. Pertamina menurunkan level stok minyak mentah domestik.

“Kemudian memilih minyak mentah impor dan domestik yang dapat mengoptimalkan marjin dan menggunakan teknologi untuk meningkatkan efektivitas program optimal,” kata Daniel.(RI)

 

 

 

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina Kilang Internasional Ignatius Tallulembang menuturkan, perseroan membutuhkan mitra dalam merampungkan seluruh proyek kilangnya. Pasalnya, total kebutuhan investasi proyek kilang ini mencapai sekitar US$ 48-50 miliar. “Ini kalau menggunakan dana Pertamina sendiri, tentu tidak sanggup. Sehingga, dalam membangun kilang, Pertamina sangat butuh partner. Karena selain share pendanaan, bisa share risiko,” kata dia.

Tallulembang menjelaskan, dalam kemitraan, perusahaan juga akan tetap mengucurkan kas. Namun, pembiayaan proyek kilang juga akan ditanggung oleh mitra. Pertamina membuka dua skema kemitraan, yakni mitra strategis (strategic investor) dan finansial (financial investor). Mitra strategis biasanya adalah perusahaan migas ternama dan pernah membangun kilang, serta akan terlibat dalam pengerjaan proyek dan pemasaran produk. Selanjutnya, mitra finansial biasanya hanya terlibat untuk pendanaan saja.

Setelah seluruh proyek kilang rampung, kapasitas kilang perseroan akan naik dari 1 juta bph menjadi 1,8 juta bph. Selanjutnya, produksi BBM akan meningkat dari 700 ribu bph menjadi 1,5 juta bph dan produk petrokimia dari 44 ribu bph menjadi 258 ribu bph. Peningkatan produksi BBM dari kilang Pertamina dan program biodiesel 30% (B30) membuat Indonesia tak lagi impor BBM pada 2026.