JAKARTA – Bisnis gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) Indonesia berada di titik nadir. Selain karena makro ekonomi, ada faktor lain yang m menyebabkan kondisi tersebut.

Pertama, terbatasnya pasokan juga gas. Kilang LNG Bontang misalnya sudah banyak kehilangan pasokan dari Blok Mahakam dan belum ada pasokan baru hingga kini. Selain itu, harga LNG Indonesia sangat sulit bersaing dengan produsen LNG lainnya.

Iwan Ratman, praktisi LNG dan Direktur Utama PT Mahakam Gerbang Raja Migas (MGRM), mengatakan harus diakui bisnis LNG Indonesia sedang suram.

Beberapa faktor yang mendukung pernyataan tersebut antara lain kehadiran Qatar LNG yang mempunyai kapasitas terbesar di dunia.

“Saat ini mereka mampu menjual LNG dibawah US$2 per MMBTU. Hampir semua kompetitor LNG sulit bersaing dengan kemampuan Qatar,” kata Iwan kepada Dunia Energi, Kamis (24/9).

Dia menilai pada masa pandemi covid-19 menyebabkan permintaan energi dari negara-negara pengimpor LNG turun drastis. “Karena permintaan LNG turun maka kesulitan bersaing mendapatkan pembeli LNG,” kata Iwan.

Selain itu, menurut Iwan kehadiran shale gas juga menjadi pembeda dalam kondisi ini. Pengembangan sumber-sumber shale gas di Amerika yang menyebabkan harga LNG murah. “Kebutuhan LNG untuk Amerika dan Eropa disupply dari Amerika,” ungkap Iwan.

Pemerintah harus memiliki strategi jitu untuk melalui masa sulit seperti ini. Pasar potensial untuk menyelamatkan bisnis LNG Indonesia adalah pasar domestik hanya saja harga LNG untuk domestik justru lebih mahal ketimbang harga LNG di pasaran.

“Kalau diserap di dalam negeri kan lebih mahal dari pada impor, kasihan dong pembelinya, misal PGN,” kata Iwan.

Ini yang harus bisa dicarikan solusinya yakni membuat harga LNG lebih terjangkau. Isu harga ini juga yang kabarnya jadi salah satu alasan Western Buyer Extension (WBX) tidak melanjutkan kontrak jual beli LNG dengan Pertamina.

Iya (PR buat harga LNG lebih murah), supaya bisa bersaing,” kata Iwan.(RI)