JAKARTA – Perhitungan harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan biaya produksi minyak di lapangan migas saja dinilai tidak proporsional. Pasalnya, tidak semua produksi minyak mentah nasional berasal dari lapangan migas Pertamina. Faktanya, sebagian minyak mentah yang menjadi salah satu komponen untuk BBM merupakan bagian pemerintah, produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lainnya dan juga yang berasal dari pengadaan impor. Semuanya mesti dibeli Pertamina dengan harga market sehingga biaya produksi BBM akan meningkat seiring kenaikan harga minyak mentah global.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan masyarakat harus paham bahwa pada era 80-90-an, Indonesia memang penghasil minyak cukup besar, yaitu mencapai 1,7 juta barel per hari (bph) dan anggota aktif Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Sedangkan konsumsi BBM domestik saat itu masih rendah, yaitu sekitar 300 ribuan bph.

“Namun sejak 2008 kita resmi keluar dari keanggotaan OPEC karena sudah menjadi net importir. Produksi dalam negeri tak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan yang pesat sehingga harus impor. Harga BBM saat ini mahal karena harga minyak mentahnya sedang tinggi,” kata Komaidi dalam diskusi dengan media secara virtual, Selasa (19/4/2022).

Sebelumnya muncul perbincangan di media sosial terkait tudingan bahwa harga jual Pertamax terlalu tinggi. BBM dengan kadar oktan (RON) 92 itu tanpa pajak diklaim harga seharusnya Rp3.772 per liter, jauh dibawah harga saat ini Rp12.209 per liter.

Komaidi menilai, tudingan tersebut salah kaprah. Hal ini mengacu pada klaim pihak yang tidak paham yang menyebutkan bahwa produksi minyak mentah hanya Rp1.772 per liter. Padahal harga internasional per Maret 2022 mencapai Rp10.209 per liter.

“Asumsi harga minyak mentah US$19,5 per barel itu cost production dari salah satu lapangan. Bukan harga jual minyak mentah. Acuannya sudah jelas, domestik itu ICP. Harga ICP Maret US$ 113 per barel, jauh di atas asumsi dalam APBN 2022 yang US$ 63 per barel,” ujarnya.

Menurut Komaidi, konsumsi BBM saat ini 1,6 juta bph, namun produksi minyak mentah yang diolah jadi BBM kurang dari 750 ribuan bph. “Dari total produksi itu, kita hanya dapat sekitar 480 ribuan bph karena sebagian digunakan sebagai cost recovery, dikembalikan ke kontraktor sebagai bagi hasil,” ungkap dia.

Komaidi menjelaskan perhitungan menyeluruh harga minyak internasional dan domestik akan lebih adil (fair) untuk mengetahui keekonomian harga BBM. Biaya produksi hanya bagian dari harga jual. Ada komponen biaya lain yang sama seperti negara lain, salah satunya adalah harga minyak global, biaya pengolahan/ pengilangan, biaya distribusi serta transportasi, termasuk penyimpanan dan lain-lain. “Selain itu, ada pajak dan margin badan usaha,” ujarnya.

Doktor Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti itu menyebutkan komponen harga minyak mentah relatif sama karena harga internasional. Namun komponen lainnya bisa berbeda tiap wilayah. Bahkan ada yang di satu negara berbeda-beda. Dia mencontohkan biaya pengilangan di Balongan dan Cilacap kompleksitas beda, konsekuensinya biaya juga beda. Pajak juga beda. Belum ditambah perbedaan pada biaya transportasi distribusi.

“Kalau mau fair kita hitung menyeluruh sekian persen acuan harga internasional dan domestik. Tapi bedanya tidak jauh. Misalnya domestik ICP. Itu kalau dibandingkan WTI, ICP lebih mahal karena kualitasnya di atas Brent,” katanya.

Komaidi mengungkapkan jika harga BBM sebesar Rp14,300 per liter, untuk pengadaan minyak mentahnya saja bisa Rp10.244 per liter. Dalam kalkulasinya, satu barel minyak terdiri atas 159 liter, namun tak seluruh minyak mentah jadi BBM.

“Artinya, dari satu liter minyak mentah, yang jadi BBM hanya 0,85 liter. Sisanya residu, seperti aspal dan lain-lain. Satu barel minyak mentah rielnya jadi BBM 135 liter, bukan 159 liter,” kata Komaidi.