JAKARTA – Penerapan pajak karbon, sebagai salah satu upaya mencapai Net Zero Emission, tengah menjadi fokus dunia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, pemerintah serta para stakeholder terkait termasuk juga pelaku usaha harus bersinergi mencari jalan keluar bersama agar penurunan emisi karbon benar-benar bisa terealisasi. Wacana penggunaan pajak karbon sebagai salah satu cara dunia untuk menekan emisi bisa menjadi momentum tepat.

Arifin mengatakan, teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan emisi dari penggunaan energi di Indonesia. Terlebih lagi, ada kajian yang menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan atau reservoir untuk menyimpan CO2 mencapai 400 Gigaton CO2.

“Kita harus mendorong energi bersih. Kita harus bisa memanfaatkan sumber-sumber dalam negeri kita untuk mengurangi karbon. Kita dikaruniai luar biasa potensi untuk menyimpan carbon karena ada teknolgi CCUS, kita ada reservoir yang sudah kosong. Dari studi Rystad Energy kita bisa dibilang memiliki kapasitas untuk 400 gigaton CO2,” ujar Arifin di Jakarta, Rabu (5/7) lalu.

Menurut Arifin, kondisi tersebut sudah disadari oleh para pemain besar dunia. Exxon, BP, hingga Chevron kini sedang melakukan kajian untuk menerapkan CCUS di Indonesia.

“Sudah banyak yang berebut untuk masuk. Exxon, Chevron, dan BP langsung mulai apa manfaatnya selain menampung karbon, untuk mendorong kita punya industri. Nanti ini bisa digunakan untuk carbon hub kita bisa melakukan perdagangan. Jadi dari 400 gigaton tersebut, emisi indonesia itu sampai 2060 paling memanfaatkan 25% saja. Ini yang sedang kita develop kalau kita bisa laksanakan dengan baik, kita bisa membalikkan ancaman jadi kesempatan,” jelas Arifin.

Arifin menyebutkan bahwa di Indonesia masih banyak industri yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara atau minyak. Hal ini tentu jadi catatan khusus agar upaya mendorong produktivitas industri domestik jangan sampai memberikan dampak serius terhadap lingkungan.

Dia menilai jika tidak ada upaya yang signifikan maka Indonesia bisa terkena sendiri dampaknya. Penerapan pajak karbon yang kini sedang direncanakan secara global dipastikan akan berpengaruh kepada persaingan produk Indonesia.

“Kami menganggap ancaman yang paling besar adalah justru jika diterapkan praktik carbon mechanisme secara global akan ada pajak karbon yang disepakati seluruh negara. Contohnya sekarang negara-negara Skandavia itu sudah menerapkan pajak karbon, apa jadinya negara-negara kalau ketinggalan dalam mengurangi emisinya. Akibatnya industri yang menggunakan energi fosil akan terkena pajak. Itu akan menyebabkan tidak kompetitifnya produksi kita di pasar internasional,” jelas Arifin. (RI)