JAKARTA – Penerimaan negara di sektor hulu minyak dan gas bumi hingga kuartal III atau September 2019 baru mencapai US$10,99 miliar, turun dibanding periode yang sama tahun lalu US$11,8 miliar. Realisasi penerimaan hingga sembilan bulan tahun ini baru 62,2% dari target yang ditetapkan sebesar US$17,5 miliar.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan penurunan penerimaan negara hulu migas terdampak kondisi harga gas dunia. Seiring kondisi tersebut, SKK Migas lebih baik menahan produksi gas dibanding harus menjual gas dengan harga yang berbeda jauh dari kontrak.

“Kami lebih baik simpan gasnya dibandingkan menjual. Itu berdampakn pada curtailment (pengurangan produksi gas). Jadi 2019 ini terus terang terpukul karena harga gas sangat rendah. Harga gas drop, hingga di bawah US$4 per MMBTU, harga beda jauh dari kontrak dengan buyer,” kata Dwi dalam konversi pers di kantor SKK Migas, Jakarta, Kamis (24/10).

SKK Migas juga mencatat realisasi lifting migas hingga September 2019 mencapai 89% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 2,03 juta barel setara minyak per hari/barrel oil equivalent per day (boepd). Total lifting migas sebesar 1,8 juta boepd dengan rincian lifting minyak 745 ribu barel per hari (bph) dari target 775 bph. Untuk lifting gas, realisasinya mencapai 1,05 juta boepd dari target lifting gas 1,25 juta boepd atau baru 84%.

Lifting yang belum mencapai target turut berdampak pada realisasi penerimaan negara. “Hal ini (penerimaan negara) juga dipengaruhi ICP (Indonesia Crude Price) yang sebesar US$ 60-an per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu US$70 per barel,” kata Dwi.

Kondisi harga gas yang anjlok itu membuat penjualan gas ke luar negeri atau ekspor juga tidak terlalu optimal.

Selain pengurangan produksi gas, selama kuartal III 2019 sektor hulu migas juga mengalami gangguan karena ada kebakaran hutan di Sumatera. Ini berpengaruh pada aktivitas operasi di Blok Rokan. Kemudian kebocoran minyak dan gas di Lapangan YY, Blok ONWJ milik Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ di Karawang, Jawa Barat juga turut membuat lifting minyak tidak maksimal.

Arief Setiawan Handoko, Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, mengatakan ada pengurangan produksi hampir diseluruh fasilitas produksi Liquefied Natural Gas (LNG) di Indonesia

Pengurangan produksi gas terjadi di kilang LNG Bontang di Kalimantan, Tangguh di Papua, dan LNG Donggi-Senoro di Sulawesi.

Di kilang LNG Bontang ekspornya hanya 52,5 kargo dan LNG Tangguh hanya 67,5 kargo.

Untuk realisasi penyaluran kargo gas domestik hingga September 2019 di LNG Bontang naik jadi 30 kargo dan LNG Tangguh  17 kargo. “LNG ada beberapa curtail. Harga LNG di pasaran drop terus,” kata Arief.(RI)