JAKARTA – Beberapa insentif yang diusulkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kepada pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dalam rangka merespon anjloknya harga minyak dunia dan pandemi covid-19 sudah dikabulkan.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengatakan dalam kondisi sekarang, dimana harga minyak rendah bahkan sempat menyentuh dibawah US$ 20-an per barel pada kuartal I, maka akan sangat berpengaruh terhadap kondisi cash flow para kontraktor. Jika cash flow saja sudah terganggu maka dikhawatirkan kegiatan operasional juga bisa berdampak. Untuk itu salah satu insentif yang diusulkan bagi yang berdampak pada pengeluaran dana disetujui, yakni pembayaran Abandonment and Site Restoration (ASR).

“Permasalahan cash flow dari setiap KKKS. Setiap KKKS memiliki portofolio yang banyak, berkaitan dengan cash flow yang bisa kami lakukan segera menunda pencadangan pembayaran ASR 2020,” kata Dwi dalam diskusi virtual di Jakarta, Kamis (2/7).

Selain ASR, insentif lainnya yang bisa dikabulkan dengan segera adalah terkait sewa barang milik negara (BMN) yang tidak dikenakan biaya. Namun pemerintah hanya memberikan insentif bebas biaya sewa bagi kontraktor yang melakukan kegiatan di blok eksploitasi. Dampak dari insentif itu adalah pengurangan 1% dari gross revenue. “Sewa barang milik negara yang saat ini sedang dilakukan,” ungkap Dwi.

Pemerintah juga memberikan insentif pembebasan biaya masuk dalam rangka impor barang untuk blok migas ekploitasi. Kontraktor juga mendapatkan insentif agar gas dapat dijual dengan harga diskon untuk volume antara Take or Pay (TOP) dan Daily Contract Quantity (DCQ). “Gas dapat dijual dengan harga discount untuk volume TOP dan DCQ, ini sudah jalan,” kata Dwi.

Sebenarnya ada beberapa insentif lainnya yang sudah diusulkan hanya saja sebagian besar belum mendapatkan lampu hijau dari Kementerian Keuangan. Beberapa insentif yang masih dalam review, di antaranya tax holiday untuk pajak penghasilan dengan estimasi dampak corporate and dividend tax rate 40%-48% untuk PSC cost recovery serta 25% untuk PSC gross split dan Pertamina. Untuk skema gross split sudah diberikan persetujuan Kementerian Keuangan. “Tax holiday kami review tingkat keekonomian dari masing-masing wilayah kerja. Gross split baru saja mendapat persetujuan,” kata Dwi.

Selain itu, penundaan atau penghapusan PPN LNG melalui penerbitan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81. Insentif tersebut ditujukan bagi blok yang menghasilkan produk gas berupa LNG dengan target perbaikan cash flow kontraktor. Aturan tersebut tentu memerlukan persetujuan Kemenkeu dan masih belum didapatkan.

Begitu juga dengan penghapusan biaya pemanfaatan Kilang LNG Badak sebesar US$0,22 per MMBTU. Ini ditujukan untuk blok yang produksi gasnya masuk ke sistem Kalimantan Timur. Estimasi dampak 3,6% dari gross revenue (untuk harga gas US$ 6 per MMBTU). “Penghapusan biaya pemanfaatan kilang LNG Badak sedang dibahas di Kemenkeu,” ujar Dwi.

Insentif selanjutnya yang masif direview insentif (untuk batas waktu tertentu) seperti depresiasi dipercepat, perubahan split sementara (misalnya sliding scale), Domestic Market Obligation (DMO) full price. Ini akan berdampak pada meningkatnya keekonomian lapangan.(RI)