JAKARTA – Pembentukan subholding dinyatakan menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Subholding yang dibentuk dinilai merupakan wujud dari praktik unbundling terhadap BUMN. Demikian disampaikan Juajir Sumardi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar yang bertindak selaku ahli yang dihadirkan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagai pemohon, dalam sidang pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/11).

Sidang tersebut merupakan kelanjutan dari permohonan FSPPB ke MK untuk Uji Materil UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. FSPPB mengajukan permohonan uji materil terhadap Pasal 77 UU BUMN yang dinilai memiliki makna ambigu dan multi tafsir sehingga membuka peluang privatisasi anak perusahaan Pertamina.

Juajir mengungkapkan dalam sidang ke-6 yang digelar MK dengan perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XVIII/2020,  secara konstitusional, BUMN diamanahkan untuk dapat menjalankan fungsi entrepreneur negara dan bertanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.

“Untuk menjaga agar tidak terjadi praktik unbundling terhadap Pertamina, maka larangan privatisasi yang terdapat dalam pengaturan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN harus dimaknai ‘termasuk keseluruhan perusahaan turunannya, yakni BUMN (Persero) beserta subholding dan anak perusahaan’,” ungkap Juajir.

Dia mengatakan apabila norma tersebut tidak dimaknai sebagai keseluruhan entitas dari perusahaan persero beserta perusahaan turunannya, maka hal tersebut dapat kemudian membuka peluang terjadinya praktik unbundling perusahaan perseroan yang diatur di dalamnya.

“Hal ini tidak sejalan dengan amanah yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,” ujar Juajir dalam sidang yang digelar secara virtual.

Juajir menyebutkan praktik unbundling yang terjadi pada Pertamina, kedudukan subholding yang menjadikannya serupa perusahaan swasta akan membawa konsekuensi pada penetapan harga dari bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang diterima rakyat cenderung ditentukan berdasarkan mekanisme pasar yang berbasis pada profit. Negara akan kehilangan dan kesulitan dalam menjalankan kebijakan energi nasional, khususnya di bidang minyak dan gas bumi melalui penugasan-penugasan khusus yang berpihak pada kepentingan rakyat.

“Jika hal ini terjadi, akan ada konsekuensi terjadinya praktik pengelolaan minyak dan gas bumi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat,” ungkap Juajir.

Juajir mengatakan bahwa berdasarkan kedudukan hukumnya, subholding Pertamina dan anak perusahaannya bukan lagi sebagai BUMN (Persero). Karena negara tidak memiliki saham secara langsung pada perusahaan subholding dan anak-anak perusahaan tersebut. Dengan demikian, terbuka peluang bagi subholding beserta anak usaha Pertamina untuk melakukan initial public offering atau go public. Hal ini, bukan lagi menjadi objek pengaturan berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN.

Lebih lanjut Juajir menyampaikan bahwa dengan tidak adanya kepemilikan saham negara pada perusahaan subholding beserta anak perusahaannya, maka pembentukannya telah mendegradasi perusahaan dan pengawasan negara secara langsung. Akibatnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun turut kehilangan kompetensinya untuk melakukan pemeriksaan terhadap subholding dan anak-anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai BUMN lagi.

Dengan tidak adanya saham negara pada subholding dan anak perusahaan Pertamina tersebut, maka pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, menjadi tidak sepenuhnya berada dalam penguasaan negara. Artinya, negara kehilangan kontrol langsung karena pembentukan subholding dan anak-anak perusahan tersebut telah mendegradasi kedudukan hukum PT Pertamina (Persero), yang awalnya merupakan operating holding company menjadi stategic holding company.

“Pertamina hanya menjadi perusahaan yang memiliki saham pada subholding saja. Ini tidak sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Sehingga, pengaruh terhadap esensi kedaulatan energi dan keamanan energi yang harus dimiliki oleh negara pun menjadi terdegradasi,” tandas Juajir di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut. (RA)