JAKARTA – PT Pertamina (Persero) kembali diminta untuk melakukan ekspansinya di ladang-ladang minyak luar negeri. Hal ini bertujuan untuk menekan impor minyak yang selama ini terus menjadi beban terhadap defisit neraca transasksi berjalan Indonesia. Dalam buku nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2020 disebutkan masih dibutuhkan upaya lebih keras lagi dalam meningkatkan kinerja ekspor nasional dan menekan impor, khususnya impor migas.

Karenanya, diperlukan terobosan kebijakan yang esensinya mendukung kebijakan yang sudah ada dalam rangka mengakselerasi penurunan defisit transaksi berjalan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Dari sisi kebijakan, satu terobosan bisa dilakukan adalah melalui kebijakan merger dan akuisisi (M&A) pada perusahaan-perusahaan minyak luar negeri, baik lokal maupun multinasional. Pada prinsipnya, strategi M&A bisa dilakukan melalui dua model.

Pertama, dengan mengakuisisi secara mayoritas pada perusahaan multinasional yang sehat dan kemudian menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan tersebut sehingga Indonesia mempunyai wakil dalam struktur pengurus dan bisa ikut mengendalikan kebijakan perusahaan.

Kedua, strategi M&A dengan mengakuisisi perusahaan minyak yang secara finansial kurang sehat, namun memiliki cadangan minyak tinggi. Perusahaan ini bisa diakuisisi dengan harga murah dan tidak membebani APBN, yang kemudian disehatkan melalui kebijakan korporasi tertentu.

Terobosan kebijakan di atas diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi migas sekaligus menekan angka impor BBM yang bermuara pada penciptaan surplus transaksi berjalan secara bertahap.

Untuk strategi investasi dan model bisnisnya, ada beberapa opsi kebijakan yang saat ini tengah dilakukan kajian oleh Pemerintah diantaranya memberikan penugasan baru kepada PT Pertamina (Persero) untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri. Kemudian memberikan penugasan tambahan kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) melalui Program National Interest Account (NIA)-nya untuk melakukan akuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri. Membentuk special mission vehicles (SMV) baru dengan penugasan khusus secara professional untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri. Serta membentuk BLU baru dengan penugasan khusus untuk pengelolaan dana dalam rangka mendukung pelaksanaan akuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri.

Andang Bakhtiar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Daerah Penghasil Migas, mengatakan Pertamina harus kembali aktif mencari cadangan migas di luar negeri. Salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia – yang terutama akan makin parah di 2025- 2030 nanti – adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh Pertamina ataupun BUMN lainnya.

“Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan,” kata Andang di Jakarta, Senin (19/8).

Namun demikian tantangan berat dipastikan akan menghadang Pertamina untuk bisa menjalankan amanat pencarian migas di luar negeri. Kasus mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan yang divonis bersalah atas akuisisi saham 10% yang dilakukan Pertamina pada Blok BMG di Australia pada 2009 dari Roc Oil Company Limited (ROC) menjadi ganjalan.

Karen dinyatakan bersalah oleh majelis hakim karena dianggap telah menyebabkan kerugian negara atas investasi Pertamina di sana yang tidak memenuhi target produksi.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, menegaskan akuisisi lapangan migas luar negeri adalah salah satu syarat jika Pertamina ingin melebarkan sayapnya dan menjadi perusahaan migas dunia. Dia pun meminta kebijakan baru ini tidak dihubungkan dengan kasus yang sempat menjerat Karen.

“Bagus itu, biar bisa menjadi world class company harus punya ladang minyak di luar. Jangan dihubugkan ke sana (kasus Karen),” ungkap Arcandra.

Selain itu, akuisisi ladang migas di luar untuk kemudian membawa hasil produksi ke tanah air ternyata tidak serta merta langsung bisa berdampak pada neraca perdagangan migas. Hal ini dikarenakan mekanisme pencatatan pasokan minyak mentah dari luar negeri yang merupakan jatah (entitlement) dari lapangan minyak Pertamina masih dicatat sebagai impor.

Pertamina saat ini telah memiliki beberapa lapangan produksi di luar negeri yang dikelola anak usahanya, PT Pertamina Internasional EP di 12 negara diantaranya Irak, Aljazair, Malaysia, Kanada, Kolombia, Perancis, Gabon, Italia, Myanmar, Namibia, Nigeria dan Tanzania. Proyeksi rata-rata produksi mencapai 112 ribu barel per hari (bph). Pada 2019, Pertamina Internasional menargetkan bisa membawa delapan juta barel minyak ke Indonesia.(RI)