JAKARTA– PT Pertamina Patra Niaga (PPN), subholding commercial and trading Pertamina, sejatinya dapat mengeluarkan kebijakan sendiri untuk mengatur harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi naik ataupun turun kapan pun, menurut pengamat energi. Apalagi Peraturan Presien Nomor 69 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM hanya mengatur harga BBM Tertentu (minyak tanah) dan BBM Khusus Penugasan (solar) yang mendapatkan subsidi pemerintah.

Sofyano Zakaria, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), mengatakan kebijakan PPN yang mengoreksi harga jual BBM jenis Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertadex adalah kewenangan Badan Usaha. Bahkan, PPN sebenarnya bisa menaikkan harga Pertalite dan Pertamax 92 yang masuk dalam kategori bahan bakar umum.

“Walaupun badan usaha memiliki kewenangan tersebut, kenyataan nya sampai saat ini PPN entah mengapa belum ‘berani’ mengkoreksi harga jual BBM jenis Pertalite RON 90 dan Pertamax RON 92. Padahal badan usaha lain yang berbisnis BBM di negeri ini sudah sejak lama menaikan harga jual BBM setara RON 90 dan RON 982 dan tidak dilarang oleh pemerintah,” ujar Sofyano kepada Dunia Energi, di Jakarta, Kamis (17/2/2022).

 

Sofyano Zakaria, Direktur Eksekutif Puskepi. (foto: ist)

Pada Sabtu (12/2/2022), PPN menaikkan harga BBM jenis Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite. Kenaikan harganya bervariasi mulai dari Rp1.500 per liter untuk Pertamax Turbo hingga Rp2.650 per li12ter untuk Dexlite. Harga Pertamax Turbo (RON 98) tadinya sebesar Rp12 ribu per liter, kini Rp13.500 per liter. Sementara itu, Pertamina Dex dari Rp11.050 per liter menjadi Rp13.200 per liter, dan Dexlite dari sebelumnya Rp9.500 per liter menjadi Rp12.150 per liter.

Irto P Ginting, Pjs Corporate Secretary PPN, saat itu menyatakan kenaikan harga itu berlaku untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak BBM (PBBKB) 5%. Penyesuaian harga dilakukan mengikuti perkembangan terkini industri minyak dan gas. “Tercatat harga minyak Indonesia atau ICP per Januari 2022 sebesar US$85 per barel atau naik 17% dari ICP per Desember 2021.

Tiga pengelola SPBU lainnya, yaitu Shell, dan AKR (bekerja sama dengan BP) dan VIVO, bahkan sudah lama menetapkan harga BBM dengan RON setara 92 atau pun di atasnya, melewati harga BBM yang dijual SPBU Pertamina. Shell Super dengan RON 92 yang sebelumnya pada Januari lalu masih Rp 12.040 per liter, kini sudah di angka Rp 12.990 per liter. Sedangkan harga Shell V-Power (RON 95) yang pada Januari lalu Rp 12.560 per liter, sudah disesuaikan menjadi Rp 13.550 per liter.

Harga BBM Shell V-Power Nitro+ (RON 98) yang per Januari 2022 Rp 12.790 per liter, kini sudah dibanderol Rp 13.750 per liter. Kemudian harga Shell V-Power Diesel (CN 51) per Februari 2022 juga sudah dibanderol Rp 13.270 per liter, padahal di Januari lalu harganya masih Rp 11.990 per liternya.

Penyesuaian harga BBM juga dilakukan oleh BBM BP-AKR pada awal Februari. Sebut saja BP 90 (RON 90) yang kini dibanderol Rp 12.500 per liter, padahal Januari 2022 lalu harganya Rp 11.850 per liter. Sementara itu, BP 92 (RON 92) harganya juga telah disesuaikan menjadi Rp 12.990 dari banderol sebelumnya Rp 11.990 per liter.

Adapun harga BP 95 (RON 95) kini Rp 13.550 per liter, sementara pada Januari 2022 banderolnya Rp 12.560 per liter. Sedangkan harga BP Diesel (CN 53) yang Januari lalu Rp 11.930, kini sudah disesuaikan menjadi Rp 12.990 per liter.

Menurut Sofyano, tidak dikoreksinya harga jual Pertalite dan Pertamax 92 merugikan PPN. Hal ini, lanjut Sofyano, semestinya menjadi perhatian banyak pihak termasuk pemerintah. Pasalnya, keberadaan badan usaha ini sangat berkaitan besar dengan hajat hidup rakyat.

“Jika PPN mengalami kerugian besar akibat rugi karena menjual Pertalite RON 90 dan Pertamax RON 92, dampaknya pasti akan membuat pengadaan dan distribusi BBM di negeri ini akan bermasalah. Apakah kita dan pemerintah tak menyadari ini?,” ujarnya.

Sofyano menegaskan, tercapainya pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 3,69% pada saat dunia mengalami musibah COVID-19 seharusnya bisa dipahami bahwa tidaklah ada masalah serius jika badan usaha PPN “direstui” atau “didorong” oleh pemerintah dan juga Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengoreksi harga jual BBM nonsubsidi sebagaimana yang dilakukan oleh badan usaha swasta dan asing lainnya yang berjualan BBM nonsubsidi di dalam negeri.

“BBM umum adalah BBM nonsubsidi yang bisa dipahami bahwa ini adalah BBM konsumsinya golongan mampu yang memang membutuhkan BBM dengan kualitas paling baik sehingga koreksi naik harga jualnya adalah hal yang biasa sepanjang tidak bertentangan dengan aturan,” jelas dia. (DR)