JAKARTA – Proses transisi Blok Rokan ternyata tidak semulus yang digambarkan, terutama untuk urusan pembangkit listrik yang selama ini memenuhi pasokan listrik di sana. Pihak Chevron bahkan berencana untuk menenderkan aset listrik alih-alih mengembalikannya kepada pemerintah ataupun diserahkan ke Pertamina melalui kesepakatan.

Faisal Basri, Ekonom Senior Universitas Indonesia, menyesalkan jika rencana itu tetap dilanjutkan. Pasalnya, mekanisme itu malah membuka peluang pencari rente yang nantinya justru membuat pengelolaan aset listrik jadi tidak optimal.

Dia  menegaskan kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan karena bisa mengancam kelanjutan produksi Blok Rokan. “Harus terjamin kelancaran pasokan listriknya. Gangguan sehari, kerugiannya bisa sangat besar,” kata Faisal, dalam diskusi virtual “Transisi Blok Rokan : Peluang dan Tantangan”, Selasa (30/3).

Selama ini, listrik Blok rokan dipasok oleh PT Manday Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang 95 persen sahamnya dimiliki Chevron. Proses transisi, khususnya persoalan pembangkit, belum tuntas sampai saat. Namun, muncul indikasi MCTN justru akan melepas asetnya melalui tender.

Tender tersebut, kata Faisal, akan membuka peluang pemburu rente yang dekat dengan kekuasaan. Dia mengaku  khawatir karena dengan usia aset yang mungkin hanya beberapa tahun, pemenang tender akan berusaha meraih untung sebesar-besarnya misalny dengan menjual listriknya mahal.

“Nanti pemenang tender beralasan usia proyek (pengelolaan oleh Pertamina) lama, jadi harganya sekian. Jangan buka peluang penunggang, percuma,” ujarnya.

Faisal masih berharap pembangkit listrik yang dikelola oleh MCTN bisa langsung dimanfaatkan oleh Pertamina dan PLN yang telah menjalin kesepakatan dengan Pertamina untuk memasok listrik Rokan. Pertamina harus menghindar  adanya potensi persoalan hukum  jika permasalahan transisi listrik ini terus berlanjut.

“Kita mau semua ini happy ending dengan Chevron. Jangan sampai di kemudian hari ada gugat-menggugat yang menghabiskan hari,” ujarnya.

Abrar Saleng, pakar hukum dari Universitas Hassanuddin, menyatakan bahwa jika MCTN berniat menjual aset pembangkit listrik di Rokan, maka negara sebagai pemilik aset harus dilibatkan dalam proses itu. “Chevron tidak memiliki tanahnya. Hanya memiliki minyak yang menjadi hak bagi hasilnya,” ungkap Abrae.

Dia mendorong pemerintah daerah dilibatkan dalam proses transisi pengelolaan blok Rokan. Di sisi lain, pemerintah pusat dan Chevron juga harus terbuka kepada pemerintah daerah tentang segala hal terkait blok rokan. “Baik buruknya harus dibuka semua. Karena kalau ada apa-apa, pemerintah daerah ini harus menghadapinya,” ujar Abrar.

MCTN merupakan pengelola pembangkit Cogen yang memasok keperluan listrik dan uap di WK Rokan dengan kapasitas listrik 300 Megawatt (MW) dan uap 3.140 MMBTU.

MCTN, yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Chevron Standar Limited (CSL), berkontrak dengan Chevron Pacific Indonesia untuk menyediakan listrik dan uap dengan mengoperasikan PLTG Cogen. Kontrak itu akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya kontrak Chevron di Blok Rokan. Chevron klaim semua komponen biaya investasi dan biaya operasi PLTGU Cogen dibayar oleh Chevron melalui pembayaran bulanan selama masa kontrak.