JAKARTA – Pelaku usaha mengeluhkan sulitnya mendapatkan pasokan listrik untuk kegiatan operasional pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Yan Sulaeman, pemilik pabrik smelter PT Mahkota Konaweeha di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, mengungkapkan salah satu permasalahan kelistrikan yang dialami adalah terkait pemasangan infrastruktur yang terbilang sulit dan biaya yang tinggi.

“Satu megawatt dikenakan biaya mencapai Rp1,1 miliar,” kata Yan kepada Dunia Energi, beberapa waktu lalu.

Setelah terdaftar juga diperlukan waktu hingga listrik benar-benar mengalir. Meskipun telah enam bulan terdaftar,  listrik belum juga mengalir. Anehnya, Yan sudah menerima tagihan listrik.

“Saya tarik (kabel),  sudah dipasang meteran sudah enam bulan tapi ditagih terus.  Padahal listrik belum nyala,” ungkap Yan.

Kondisi tersebut tentu membuat bingung para pelaku usaha yang butuh kepastian dari sisi pasokan energi.

Tidak hanya itu, setelah listrik tersambung ternyata kualitasnya juga tidak begitu baik lantaran sering mengalami tegangan yang naik turun. Tidak stabilnya tegangan sendiri terjadi bahkan di siang hari.

“Voltase kadang-kadang turun, nyala (listrik) tapi tidak maksimal, voltase naik turun (tidak stabil),” katanya.

Kualitas listrik seperti inilah yang tentu bisa menganggu pelaku usaha dalam berinvestasi. Apalagi pabrikan smelter membutuhkan listrik yang stabil karena jika tidak berbagai peralatan akan mengalami kerusakan yang bisa menambah biaya operasional.

Triharyo Soesilo, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Investasi, mengungkapkan bahwa proyek smelter seharusnya menjadi peluang bagi PT PLN (Persero) untuk memasarkan listriknya. Apalagi kebutuhan listrik pabrik smelter juga besar. Untuk itu kualitas pelayanannya harus benar-benar diperhatikan.

“Pembangunan smelter nikel jumlahnya ada 41 di mana yang sudah jadi 11. Nah yang belum jadi dan peluang bagi PLN,” kata dia

Berdasarkan data Kementerian ESDM, sejauh ini ada 67 proyek smelter. Sebanyak 17 diantaranya sudah rampung, 13 proyek progress-nya antara 40% – 99%, lalu 37 proyek smelter progressnya masih kurang dari 40%. Sementara untuk smelter nikel sampai sekarang ada 41 proyek smelter.

Data Kementerian ESDM juga menyebutkan total kebutuhan listrik untuk seluruh proyek smelter yang sudah terdata pemerintah adalah 4.2004,41 MW. PLN sendiri baru bisa menyediakan 841,8 MW. Sisa pasokannya akan disediakan oleh para pelaku usaha atau off-grid terpisah dari PLN.

Syamsul Huda, Direktur Bisnis Regional Sulawesi dan Kalimantan, mengatakan dengan selesainya program 35 ribu MW pasokan listrik akan berlimpah. Hal berikutnya yang harus dipastikan adalah kesiapan para konsumen yang akan menyerap listrik.

Dia mengatakan progress proyek 35 ribu MW) memang baru sekitar 11%, tetapi yang masa konstruksi itu sangat besar.
Untuk itu, PLN sebelum pembangkit-pembangkit itu beroperasi, harus memastikan disisi pelanggan ada penggunannya.

“Jangan sampai kami bangun pembangkit, gardu induk, transmisi, distribusi pelanggannya tidak ada, pelanggannya belum siap,” kata Syamsul.(RI)