JAKARTA – Pemerintah diminta mengkaji dan melakukan evaluasi terhadap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota. Pasalnya, proyek tersebut dinilai tidak efektif jika dipaksakan di tengah kondisi saat ini. Selain sulit direalisasikan, pemerintah sebenarnya bisa memaksimalkan upaya lain dalam mengejar realisasi target bauran energi baru terbarukan.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan operasional PLTSa bukan untuk satu dua tahun tahun, tapi kontrak jangka panjang. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, yang menuntut agar fokus pada anggaran pemerintah untuk penanggulangan pandemi yang mendesak.

“Pemerintah tidak perlu memaksakan diri. Persoalan tipping fee dan subsisidi atas biaya pokok produksi listrik dapat menguras keuangan daerah atau tambahan pengeluaran untuk APBN,” kata Mulyanto, Senin (9/11).

Menurut Mulyanto, proyek PLTSa saat ini belum terlalu mendesak. Apalagi untuk kota-kota di Jawa saat ini pasokan listrik PLN sudah surplus. Tidak ada keperluan untuk penambahan pembangkit baru, apalagi dari sumber yang tidak efisien. Pembangunan PLTSa perlu kajian komprehensif, tidak sekadar gagah-gagahan bahwa konsep inovasi itu mampu mensinergikan dan mengubah sampah menjadi listrik.

“Secara teknologi, itu ide yang bagus. Namun penerapannya harus tepat, baik secara teritorial maupun tekno-ekonomi,” kata dia.

Mulyanto mengatakan persoalan utama yang dihadapi kota besar adalah penanganan sampah yang terus menggunung, sementara lahan penimbunan sudah sangat terbatas. Untuk itu, pemerintah sebaiknya fokus menuntaskan masalah sampah, bukan menyelesaikan dua masalah sekaligus, yakni masalah sampah dan soal bauran energi baru-terbarukan (EBT). Apalagi KPK dalam kajiannya menyarankan, agar fokus pada upaya mereduksi volume sampah, soal waste to energy bukan waste to electricity. Namun untuk kota-kota yang sudah siap, dipersilakan jalan sambil dilakukan evaluasi beban tambahan anggaran baru untuk pos tersebut.

“Kalau bisa dan efisien menangani keduanya sekaligus, ya bagus-bagus saja. Namun kalau tidak efisien dan subsidi pemerintah yang dikeluarkan akan menguras APBD atau menambah pos pengeluaran APBN, maka kita harus kembali ke pokok persoalan, yakni masalah sampah perkotaan, bukan masalah listrik. Soal listrik di Jawa sudah surplus,” kata Mulyanto.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan ada 12 PLTSa bisa terbangun dalam periode 2019 hingga 2022 dengan total daya listrik yang dihasilkan ditargetkan bisa menapai 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari.

Surabaya akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa dengan kapasitas pembangkit 10 MW tersebut dari volume sampah sebesar 1.500 ton/hari dengan nilai investasi sekitar US$49,86 juta.

Lokasi PLTSa kedua berada di Bekasi. PLTSa tersebut memiliki nilai investasi sebesar US$ 120 juta dengan daya 9 MW. ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW), dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar US$ 297,82 juta.

Sisanya, Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi US$345,8 juta, Bandung dengan kapasitas 29 MW dan investasi sebesar US$245 juta, Makassar, Manado, dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas 20 MW dan investasi yang sama, yaitu US$120 juta.(RI)