JAKARTA – PT PLN (Persero) didorong untuk meningkatkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) guna menekan beban bahan bakar yang menjadi salah satu beban tertinggi  setiap tahun.

Pada sembilan bulan 2018 beban bahan bakar dan pelumas PLN mencapai Rp101,87 triliun, meningkat  dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp85,28 triliun.

“Beralih ke energi terbarukan, biaya fuel cost-nya nol. Risiko fluktuasi harga bahan bakar tidak ada. Baik untuk keuangan PLN jangka panjang,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IRESS) kepada Dunia Energi, Rabu (31/10).

Fluktuasi harga bahan bakar berisiko menekan kinerja keuangan PLN.

Menurut Fabby, beban terbesar tentu ada di batu bara yang menjadi bahan baku utama pembangkit listrik, meskipun harganya sudah dipatok maksimal US$ 70 per ton. Harga tersebut baru berlaku efektif pada Maret 2018, padahal harga batu bara sudah lebih dari US$ 100-an per ton sejak awal tahun.

“Untuk batu bara efektif harganya baru berlaku di Maret, padahal harga batu bara sudah tinggi sejak awal tahun,” kata dia.

Selain batu bara, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga meningkat seiring dengan peningkatan harga minyak dunia yang juga turut mengkerek harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP). Pada RKAP 2018, ICP dipatok US$ 48 per barel dan asumsi perubahan RKAP ICP dipatok US$ 55 per barel.

Realisasi ICP dalam beberapa bulan terakhir terus berada diatas US$ 60-an per barel. Pada September, ICP sudah mencapai US$ 74,88 per barel, untuk  Agustus sebesar US$ 69,36 per barel dan pada Juli sebesar US$ 70,68 per barel.

“Kenaikan harga bahan bakar banyak disumbangkan oleh harga BBM. Ada selisih yang cukup besar antara target RKAP dan realisasi harga pasar. Lalu juga disebabkan oleh nilai tukar,” ungkap Fabby.

Laporan keuangan PLN mencatat perseroan membukukan rugi bersih hingga Rp18,48 triliun pada sembilan bulan 2018 dibanding periode yang sama 2017 yang meraih laba bersih Rp3,04 triliun. Kerugian tersebut terutama akibat rugi kurs yang mencapai Rp17 triliun.

PLN sebenarnya mencetak laba sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun, meningkat 13,3% dibanding dengan tahun lalu sebesar Rp8,5 triliun.

I Made Suprateka, Executive Vice President Corporate Communication PLN, mengatakan kenaikan laba tersebut ditopang kenaikan penjualan listrik dan efisiensi. Serta kebijakan domestik market obligation (DMO) harga batu bara.

Nilai penjualan tenaga listrik naik Rp12,6 triliun atau 6,93% menjadi Rp194,4 triliun dibanding periode Januari-September 2017 sebesar Rp181,8 triliun.

“Volume penjualan sampai dengan September 2018 sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) atau tumbuh 4,87% dibanding dengan tahun lalu sebesar 165,1 TWh,” ungkap Made.

Menurut Made, PLN terus mempertahankan tarif listrik  dalam rangka menjaga daya beli masyarakat dan agar bisnis serta industri semakin kompetitif guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Jumlah pelanggan hingga September  2018 telah mencapai 70,6 juta atau bertambah 2,5 juta pelanggan dari akhir 2017, sehingga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional dari 95,07 % pada 31 Desember 2017 menjadi 98,05 % pada 30 September 2018.

“Capaian rasio elektrifikasi ini telah melebihi target 2018 yang dipatok sebesar 96,7%,” kata Made.

Kebijakan DMO harga batu bara untuk sektor kelistrikan telah berjalan efektif, sehingga kenaikan harga komoditas batu bara internasional tidak berdampak signifikan terhadap beban operasi PLN.

Penggunaan (capacity factor) pembangkit yang berbiaya operasi lebih murah menggunakan batu bara semakin meningkat. Selain itu, PLN juga melakukan reprofiling atas pinjaman sehingga didapatkan pinjaman baru dengan tingkat bunga yang cukup rendah dan jatuh tempo lebih panjang menjadi 10 – 30 tahun.

Sejalan dengan kemajuan program 35 GW, maka sejak Januari 2015 sampai dengan September 2018 PLN telah menanamkan dana untuk Investasi sebesar Rp248 triliun. Pada periode yang sama peningkatan jumlah pinjaman hanya sebesar Rp148 triliun atau 60% dari total investasi.

“Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan dana internal PLN masih sangat memadai yaitu sekitar 40% atau Rp100 triliun dari seluruh kebutuhan investasi,” kata Made.(RI)