JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) menyatakan salah satu musuh terbesar pencapaian produksi migas nasional hingga kuartal I tahun ini adalah unplanned shutdown yang banyak terjadi. Bahkan, masalah tersebut terjadi blok-blok migas raksasa yang selama ini jadi kontributor terbesar dalam produksi migas.

Rentetan unplanned shutdown terjadi sejak akhir 2021. Ini menyebabkan sulit bagi lapangan berproduksi maksimal di awal tahun 2022. Beberapa diantaranya kebocoran pipa di PHE Offshore North West Java (ONWJ) kemudian GLC Belida Tripped di Medco EP Natuna.

Trip terjadi di Blok Cepu pada bulan oktober lalu dilanjutkan adanya masalah di Echo SD leak outline sep. Kemudian salah satu masalah terbesar adalah terjadi di Blok Rokan yakni NDC Power Tripped yang disebabkan oleh terbakarnya tiang penangkal petir di sana.

Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas menegaskan pada dasarnya perusahaan-perusahaan di blok-blok migas besar tersebut sudah menerapkan manajemen kelas dunia tapi tetap saja ada kejadian tak terduga seperti yang dialami oleh PHR.

“Kami lakukan analisis, biggest producer, management system the best tapi bisa terjadi? Ini kita cari telisik jauh. PHR blackout flame tersambar petir. Kedua kompleksitas operasional ribuan sumur mati ramp up produksi lama. Hal simple dan itu terjadi. Ular di kabel. PHR itu hanya tiang listrik tertabrak truk bisa blackout juga. Kalau dari maintenance bagus mereka sudah the best system,” jelas Julius akhir pekan lalu di Jakarta.

Selain Blok Rokan, unplanned shutdown di Blok Cepu juga berbuntut panjang karena target produksi yang jadi taruhannya. Beberapa masalah terjadi dalam rentan waktu berdekatan.

“ECML (ExxonMobil Cepu Limited) unik, ini temuan bagus, ada lima titik sambungan kabel terbakar kita investigasi detailnya. Apakah itu terjadi kegagalan konstruksi? Tapi sistem safety bekerja baik mematikan dengan sempurna untuk mencegah hal tidak diiginkan terjadi,” ungkap Julius.

Kemudian selain masalah kelistrikan ditemukan juga masalah konstruksi yang berisiko terhadap kegiatan opersional sehingga diharuskan untuk melakukan tindakan terlebih dulu. “Landslide, ada pekerjaan rutinitas jalan kenapa pipa muncul ke permukaan terdeteksi erosi tanah di sungai. Itu kami  coba terus mencegah terjadi karena ada indikasi over stress pipa kami  matikan (produksi minyak) dulu,” ujar Julius.

Unplanned shutdown yang tidak diduga dan telah sebabkan penurunan produksi gas di Tangguh. Untungnya sistem keamanan di BP bekerja dengan baik sehingga juga mampu mencegah terjadi insiden fatal. “Bayangkan kalau tidak terdeteksi itu bisa melepaskan gas H2S itu, berbahaya sekali,” ujar Julius.

Sementara itu, Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas meminta para kontraktor melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kondisi perlatan-peralatan penunjang produksi. Dia bisa memahami apabila terjadi masalah di fasilitas yang sudah berumur puluhan tahun. Namun yang menjadi aneh adalah ketika ada masalah konstruksi di fasilitas yang umurnya tidak sampai lima tahun. Seperti yang terjadi di Blok Cepu tepatnya di lapangan Kedung Keris.

“ONWJ-OSES bocor-bocor (pipa) itu peralatan tua kalau bisa sudah terdeteksi peralatan tua ini yang jadi penyebab termasuk Train 1 dan 2 kondisi operasi panas dingin karena konstruksi. Pipa bengkok ECML Kedung Keris masih relatif baru diresmikan 2019 itu terjadi longsor berarti konstruksi sipil nggak betul. Sambungan kabel saya kira itu masalah konstruksi . Kita harus hati-hati pertama kegiatan konstruksi betul-betul hal diamati dengan baik,” jelas Dwi.

Realisasi lifing minyak dan gas bumi hingga Maret atau kuartal I tahun 2022 masih cukup jauh dari target, Bahkan untuk minyak realisasinya belum mencapai 90% dari target yang dipatok di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Dalam data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), lifting minyak baru mencapai 611,7 ribu barel per hari (bph) atau baru 87% dari target sebesar 703 ribu bph. Sementara gas realisasinya mencapai 5.321 juta kaki kubik per haru (MMscfd) atau 92% dari target yang dipatok mencapai 5.800 MMscfd. (RI)