JAKARTA – Pemerintah saat ini tengah menggodok beleid untuk mendorong percepatan implementasi Carbon Capture Storage (CCS) / Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Ada beberapa poin krusial dalam aturan tersebut adalan aturan storage fee serta carbon trading.

Noor Arifin Muhammad, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan sampai sekarang ada dua poin yang harus dibahas secara mendalam dan melibatkan lintas kementerian lembaga. Salah satunya adalah storage fee. Jadi nanti jika ada pihak yang menggunakan reservoir maka rencananya pihak tersebut dikenakan biaya sewa kepada pengelola blok migas lokasi reservoir itu berada. Namun skema pemnayarannya yang kini tengah dibahas.

“Akan ada storage fee (biaya sewa), kalau sudah jadi aturannya maka karbon yang disimpan ke tempat penyimpanan berarti kan ada storage fee,” kata Noor Arifin detemui disela Asia Pasific Oil & Gas Conference and Exhibition 2023, Jakarta (10/10).

Berbagai pihak sempat menerbitkan kajian yang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi kapasitas reservoir untuk penyimpanan CO2 sangat besar. Apalagi lapangan-lapangan migas di tanah air juga sudah teruji menyimpan cadangan hidrokarbon selama raturan tahun bahkan lebih. “Kalau bekas oil and gas kan sudah terbukti simpan berjuta tahun,” ungkap Noor Arifin.

Berdasarkan kajian LEMIGAS, potensi penyimpanan di Indonesia sekitar 12 giga ton CO 2 di reservoar migas dan akuifer salin. Estimasi ExxonMobil adalah sekitar 80 giga ton, dan menurut Rystad Energy jauh lebih besar, lebih dari 400 giga ton CO 2 di Reservoir Minyak & Gas dan Saline Aquifers.

Ada dua rencana skema pembayaran sewa yang kini sedang dibahas. Pertama adalah melalui pembayaran royalti ke pemerintah.

“Kalau kita mengacu PSC, atau apakah dia royalti ke negara bisa juga PSC kontrak bagi hasil. cuma kecenderungan diskusi sepertinya royalti tapi belum fix,” ujar Noor Arifin.