Sebuah studi yang dilakukan oleh Climate Investment Funds (CIF), memberikan rekomendasi untuk memperkuat dukungan para pemangku kepentingan terhadap Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) serta menyampaikan temuan kepada Sekretariat JETP guna memperbaiki desain kebijakan dan implementasi komponen keterlibatan pemangku kepentingan dalam inisiatif Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP) di Indonesia.
Studi yang digelar Jumat 2 Mei 2025, di Hotel Pullman Jakarta, bertujuan menilai sejauh mana JETP telah melaksanakan keterlibatan pemangku kepentingan secara inklusif, terpadu, dan berkelanjutan.
Studi yang disponsori CIF dan difasilitasi oleh Climate Action Network Southeast Asia (CANSEA) menghadirkan dua kelompok peserta, yaitu wakil dari organisasi profesi dan nirlaba yang bergerak di sektor energi terbarukan dan ketenagalistrikan, Riki Ibrahim dan wakil dari Federasi Pertambangan dan Energi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Nikasi Ginting.
Riki Ibrahim, Dosen Program S2 Energi Terbarukan jurusan Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait JETP. Riki Ibrahim, Direktur Utama PT GeoDipa Energi (Persero)—salah satu Special Mission Vehicle (SMV) di bawah Kementerian Keuangan untuk periode 2016 – 2022, menyampaikan pandangannya berdasarkan pengalaman dalam berinteraksi dengan lembaga-lembaga pendanaan multilateral bank dunia.
1. JETP Indonesia, yang diluncurkan pada November 2022, memiliki komitmen awal sebesar US$10 miliar dari negara-negara anggota International Partners Group (IPG) dan US$10 miliar tambahan dari sektor swasta melalui Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
Namun, skema ini dinilai belum mampu bersaing dengan skema pendanaan dari bank-bank multilateral dunia.
2. JETP, lembaga baru, belum memiliki pengalaman dalam hal pendanaan. Hal ini pada akhirnya menyulitkan para sponsor pendana untuk melanjutkan pencairan dana, terutama karena sebagian besar berbentuk pinjaman komersial dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan pinjaman pasar, serta fasilitas blended finance yang seharusnya mendukung proyek-proyek transisi energi di Indonesia.
3. Dana hibah dan bantuan teknis yang telah disalurkan sejauh ini telah digunakan untuk mendukung sejumlah program transisi energi, seperti studi pengembangan infrastruktur energi terbarukan, efisiensi energi, serta program pensiun dini PLTU. Pasar energi terbarukan Indonesia belum dapat bersaing layaknya sektor migas dan batubara di pasar International seperti di negara maju. Rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp 78,62 juta, yang setara dengan US$ 4.960 per tahun (dengan asumsi kurs Rp 15.850 per US$), atau sekitar US$ 413 per bulan.
4. Perlu dicatat bahwa PDB per kapita itu, tidak sepenuhnya mencerminkan pendapatan individu, tetapi memberikan gambaran umum tentang tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara keseluruhan, meskipun ada peningkatan, pendapatan masyarakat Indonesia rata-rata, tetapi masih jauh berada di bawah angka US$ 2.500 per bulan.
5. Proyek Energi Terbarukan untuk pemanfaatan tidak langsung atau untuk ketenagalistrikan itu masih sangat perlu di bantu pendanaannya oleh multilateral bank dunia karena harga listrik untuk masyarakat Indonesia serta bunga pinjaman pendanaan proyek Energi Terbarukan itu masih harus rendah.
Lembaga JETP Indonesia sudah pasti akan lebih tinggi bunganya karena masih perlu memerlukan pengeluaran besar diawal untuk mendirikan/menetapkan/membentuk dan menetapkan organisasi dan Lembaga kerja seperti multilateral bank dunia.
6. Hibah yang sudah dikeluarkan itu belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia. Lebih dari 90% masyarakat Indonesia dari total sekitar 270 jiwa penduduk Indonesia, belum memahami pentingnya dan manfaat JETP Indonesia.
7. Apalagi pendanaan ini pada akhirnya dibebani kepada anak cucuk kita semua. Skema pembiayaan ini menggunakan pendekatan blended finance, yang menggabungkan modal konsesional dari dana filantropi dan investasi publik dengan modal dari sektor swasta, termasuk dari multilateral bank dunia.
8. Seharusnya, hibah sekitar US$ 155 juta ditambah US$ 157 juta dalam bentuk bantuan teknis dialokasikan untuk program edukasi mengenai penerapan safeguard ESG secara komprehensif bagi seluruh pemangku kepentingan dalam proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia.
9. Indonesia memiliki potensi sumberdaya energi terbarukan yang melimpah di dunia. Seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan DPRD di daerah, masih sangat perlu memahami pentingnya penerapan Safeguard ESG secara komprehensif.
Hal ini diperlukan agar dapat disusun kebijakan dan regulasi yang mendukung implementasi safeguard ESG dalam proyek-proyek Energi Terbarukan, dari Sabang di ujung barat Indonesia hingga Merauke di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
10. JETP Indonesia sebaiknya dibubarkan saja. Namun, seluruh pendanaan dari para sponsor yang telah berkomitmen sebaiknya dialihkan kepada masing-masing bank multilateral di dunia.
Dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai insentif pembiayaan teknologi bagi negara-negara sponsor anggota JETP, serta untuk mendanai program edukasi mengenai penerapan prinsip ESG secara komprehensif kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat di sekitar proyek Energi Terbarukan di Indonesia.
11. Biaya untuk mematikan lebih awal PLTU hingga tahun 2035 – padahal kontraknya baru berakhir 2042 – mencapai US$ 250 hingga US$ 300 juta atau setara Rp 3,9 hingga Rp 4,7 triliun dan justru membebani generasi mendatang, sementara manfaat pengurangan emisinya hanya sekitar 30 juta ton.
12. Indonesia memiliki PT SMI (Persero) dan PT PII (Persero) yang berpengalaman mendampingi Multilateral Bank Dunia. Alokasi realisasi pendanaan kepada kedua BUMN, SMV Kementerian Keuangan akan banyak manfaatnya daripada membentuk JETP Indonesia.
Komentar Terbaru