JAKARTA – Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengkritik kebijakan program campuran biodiesel yang terbuat dari minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dengan solar sehingga menjadi biosolar. Hingga kini implementasi program tersebut telah mencampur biodisel sebanyak 30% atau dikenal dengan B30.

Menurut Ahok, harus ada fleksibilitas dalam program tersebut lantaran, harga CPO yang terus bergerak.CPO lebih bermanfaat diekspor ketika harganya sedang tinggi, tak perlu dipaksakan untuk biodiesel di dalam negeri. Apalagi harga biodiesel bisa lebih mahal dari minyak bumi saat permintaan sedang tinggi-tingginya.

“FAME (minyak sawit yang diubah menjadi biodiesel) bisa mengurangi defisit. Harusnya, ketika harga CPO lebih tinggi dari minyak mentah, akan lebih baik diekspor karena tidak ada gunanya memproduksi very high untuk FAME,” kata Ahok disela Indonesia Oil and Gas Convention 2020, Rabu (2/12).

Program biosolar diusung pemerintah guna mengurangi penggunaan BBM jenis solar yang selama ini pengadaanya harus diimpor. Pemerintah sendiri sekarang telah melakukan pengujian campuran biodiesel 40% atau B40.

Dalam data Kementerian ESDM, Secara bertahap penggunaan biodiesel memang menunjukkan peningkatan. Dalam lima tahun sejak 2015 saat itu penggunaan hanya 1,62 juta kilo liter (KL). Tapi meningkat tajam tahun 2016 menjadi 3,65 juta KL lalu sempat turun pada 2017 menjadi hanya 3,41 juta KL. Namun peningkatan signifikan biodiesel terjadi pada tahun 2018 yakni 6,16 juta KL seiring dengan dimulainya program B20. Lalu pada tahun 2019 realisasi penggunaan biodiesel justru jauh diatas target 7,37 juta KL. Tahun lalu konsumsi biodiesel bisa mencapai 8,37 juta KL.

Selain program biosolar, Ahok juga sempat menyinggung proyek gasifikasi batu bara yang akan diolah menjadi Dymethil Ether (DME). Pemerintah menargetkan DME yang diproduksi bisa kembali diolah untuk menjadi bahan bakar pengganti LPG yang selama ini sebagian besar juga dipenuhi dari impor.

Menurut Ahok, DME lebih mahal dari LPG sehingga butuh subsidi agar harganya terjangkau masyarakat. Ini bisa menjadi beban negara di kemudian hari, sebab subsidi yang dibutuhkan lebih besar dari subsidi LPG.

“DME sebagai substitusi LPG menarik, tetapi mungkin memerlukan subsidi karena DME lebih mahal daripada LPG. Juga memiliki offtaker jangka panjang,” kata Ahok

Pertamina merupakan salah satu BUMN yang ditugasi mengerjakan proyek gasifikasi batu bara bersama dengan PT Bukit Asam Tbk (Persero) dan menggandeng Air Products dari Amerika Serikat sebagai investor.

Untuk mengatasi harga DME yang lebih mahal dari LPG, kerja sama dengan perusahaan lain menjadi solusi dan masih akan dibicarakan ke depannya.(RI)