JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Konstitusional meminta pemerintah membatalkan rencana pembelian 51% saham PT Freeport Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum. Mahalnya harga saham yang harus dibayar berpotensi merugikan negara puluhan triliun rupiah. Apalagi denda kerusakan lingkungan hasil audit BPK yang merupakan lembaga tinggi negara yang keberadaan dan hasil auditnya dijamin oleh konstitusi diabaikan Freeport.

“Koalisi juga meminta Freeport untuk membayar denda kerusakan lingkungan sesuai hasil perhitungan BPK. Pengabaian atas temuan BPK merupakan pelecehan terhadap kedaulatan NKRI,” kata Ahmad Redi, Anggota Koalisi sekaligus Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara di Jakarta, Kamis (20/12).

Pemerintah juga didesak melakukan negosiasi ulang atas kesepakatan yang telah dicapai, dengan mendudukkan posisi negara di atas posisi korporasi. Disisi lain, Freeport diminta mematuhi seluruh ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, terutama Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batu bara (Minerba)

Hal senada disampaikan Marwan Batubara, Anggota Koalisi serta Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies. Dia mendesak DPR menggunakan hak konstitusional yang dimiliki dengan membentuk Panitia Khusus Pengawasan Divestasi Freeport terhadap pelaksanaan proses negosiasi kontrak Freeport, guna mencegah terjadinya kerugian negara dan pelecehan terhadap konstitusi dan peraturan yang berlaku.

“Kami meminta KPK memantau proses negosiasi secara seksama guna mencegah terjadinya KKN dan penggelembungan harga saham divestasi,” kata Marwan.

Pemerintah sebelumnya menyatakan kesepakatan negosiasi perpanjangan kontrak pertambangan PT Freeport Indonesia hanya tinggal menyisakan satu poin penyelesaian, yakni perizinan persaingan usaha yang harus dikantongi Inalum sebelum menguasai mayoritas saham Freeport.

Seluruh syarat dan poin-poin perundingan antara pemerintah melalui Inalum dengan Freeport-McMoRan Inc sudah selesai dibahas, termasuk divestasi yang tinggal menunggu transaksi dan isu lingkungan.

“Freeport tinggal bayar, menunggu dari persetujuan dari persaingan usaha. Rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah keluar, sudah beres,” kata Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN.

Izin persaingan usaha masih menyisakan dari dua negara, yaitu China dan Filipina. Izin dari negara lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan sudah dikantongi. Serta dari Indonesia akan langsung diberikan setelah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) permanen diberikan.(RA)