JAKARTA – Tren kenaikan harga minyak dunia pada awal 2018 hingga berada di level US$ 60-an per barel harus segera direspon pemerintah karena berpotensi menganggu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2017.

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan agar tidak menganggu keuangan negara perlu ada perubahan dalam asumsi penetapan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) karena terdapat perbedaan yang jauh antara asumsi dan kondisi real saat ini.

“Dengan selisih begitu besar antara asumsi APBN US$ 48 per barel dengan harga pasar dikisaran US$ 65 per barel, pemerintah harus mengubah asumsi  agar beban APBN tidak membengkak,” kata Fahmy kepada Dunia Energi, Rabu (17/1).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pada Desember 2017 ICP sebesar US$ 60,9 per barel.

Menurut  Fahmy, kenaikan harga minyak bisa memberikan dampak positif bagi industri migas nasional dengan mampu membuat investasi di sektor hulu menjadi lebih bergairah. Dengan begitu diharapkan ada peningkatan aktivitas eksplorasi dan produksi.

Selain itu, setoran kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga meningkat dari kenaikan harga minyak dan memberikan dampak terhadap penerimaan migas.

Namun itu tidak serta merta memberikan dampak pada keuangan negara. Pasalnya Indonesia  merupakan negara importir minyak, bahkan lebih banyak mengimpor dibanding produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan.

“Pendapatan migas meningkat, tetapi dengan penurunan lifting, tambahan pendapatan itu tidak signifikan. Bahkan pendapatan itu masih lebih kecil dari pembengkakan impor BBM. Sehingga kenaikan harga minyak dunia bukan lagi berkah tapi bisa dikatakan sudah menjadi musibah bagi negeri ini,” ungkap Fahmy.

Ego Syahrial, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah tidak menutup mata dengan kenaikan harga minyak dunia, namun untuk melakukan tindakan lebih lanjut diperlukan perhitungan yang matang.

“Kami evaluasi nih setiap minggu rapat pimpinan (Rapim), kalau lihat ya memang naik (harga minyak). Pemerintah kan harus bertindak,” kata dia.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan perubahan asumsi harga ICP pada APBN tidak serta merta bisa dilakukan begitu ada kenaikan harga minyak dunia. Ada parameter lain yang diperhitungkan jika ingin merubah apa yang sudah diputuskan.

Setiap ada perubahan indikator asumsi makro, setidaknya ada tidak indikator yang berubah seperti harga minyak, kurs atau nilai tukar mata uang dan juga pertumbuhan ekonomi atau inflasi maka pemerintah bisa mengajukan perubahan APBN.

“Kalau diikuti dua indikator yang lain baru bisa langsung mengajukan (perubahan),” tandas Satya.(RI)