JAKARTA – PT PLN (Persero) menargetkan segera menyelesaikan evaluasi perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP).

Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN mengatakan evaluasi harga jual listrik sangat dimungkinkan. Apalagi sudah banyak harga listrik yang dipatok lebih murah dari harga yang sudah disepakati.

“Hari ini ada IPP yang lebih murah (harga listriknya). Kalau ada yang tidak mau turun, kami cari IPP baru,” tegas Supangkat disela pelaksanaan CEO Forum di Jakarta, Rabu (29/11).

Hingga saat ini, PLN sudah menyelesaikan evaluasi perjanjian jual beli listrik proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 3 berkapasitas 1.200 megawatt (MW) dan PLTU Cirebon Ekspansi 2 berkapasitas 1.000 MW. PLN meminta IPP untuk menurunkan harga jual listrik dari proyek pembangkit hingga di bawah US$6 sen per KWh.

PLN mengklaim untuk Cirebon Ekspansi, revisi harga jual yang sudah disepakati sebesar US$5,54 sen per KWh. PPA PLTU Cirebon Ekspansi sebelumnya telah ditandatangani pada 23 Oktober 2015 antara PLN dan PT Cirebon Energi Prasanana sebagai pengembang.

Untuk PLTU Jawa 3 pembahasan evaluasi harga masih berlangsung dan ditargetkan selesai pada Desember 2017. PLTU Jawa 3 digarap konsorsium YTL Power International Berhad dan PT Bakrie Power. “Jawa 3 sedang proses, Insya Allah selesai. Desember paling tidak selesai,” tukas Supangkat.

Pemerintah melalui surat Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang ditandatangani Andy Noorsaman Sommeng meminta PLN untuk meninjau ulang kontrak-kontrak jual beli listrik pembangkit bertenaga uap dengan kapasitas besar yang dibangun di Pulau Jawa.

Evaluasi terhadap PPA akan menyasar pada pembangkit yang belum mulai tahap konstruksi, termasuk pembangkit yang masih mengalami kendala non teknis ataupun pembangkit yang belum mendapatkan Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.

Kebijakan evaluasi terhadap PPA sempat mendapatkan kritik dari berbagai pihak, termasuk Bank Dunia yang mengkhawatirkan kebijakan tersebut akan menganggu iklim investasi di Indonesia. Namun menurut Supangkat dalam menilai suatu kebijakan harus dilihat secara luas karena tarif listrik kompetitif menjadi tujuan utama. Dengan tarif listrik yang terjangkau maka daya saing masyarakat dan industri akan meningkat sehingga ujungnya akan berdampak juga terhadap perekonomian.

“Kita melihat ujungnya, tarif yang terjangkau oleh masyarakat dan industri. Kalau tarif listrik untuk industri mahal, ya tidak bisa bersaing,” tandas Supangkat.(RI)