PERUSAHAAN energi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menegaskan komitmennya mengembangkan teknologi terkini dan terdepan dalam pengembangan industri minyak dan gas di Indonesia.

“Apalagi Chevron adalah pionir dalam penerapan teknologi lanjutan Enhanced Oil Recovery (EOR) surfaktan terbesar dunia di lapangan Minas dan Duri di Riau,” kata Senior Vice President Policy, Government and Public Affairs Chevron IndoAsia Business Unit, induk usaha PT CPI, Yanto Sianipar di Jakarta, Senin.

Yanto mengatakan teknologi EOR digunakan untuk meningkatkan produksi minyak di lapangan tersebut karena cadangan minyak bumi pada lapangan migas tua terus menurun.

“EOR dilakukan dengan melakukan injeksi surfaktan ke sumur-sumur minyak,” katanya.

Menurut Yanto, proses teknologi EOR sangat rumit dan biasanya diterapkan ketika lapangan telah memasuki tahap akhir perolehan minyak primer dan sekunder. Teknologi ini dapat dijelaskan sebagai metode untuk mengekstrak hidrokarbon dari reservoar yang mengandung sejumlah besar sisa minyak yang tidak bisa lagi diproduksi dengan cara primer dan sekunder.

Namun tiap lapangan memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri. “Ini menyebabkan perbedaan teknologi EOR yang diterapkan sehingga memberi tantangan tersendiri dan kesempatan bagi para profesional Chevron mempelajari dan menerapkan teknologi yang beragam,” katanya seperti dikutip Antara.

Pada penerapan teknologi EOR, ada beberapa jenis injeksi atau metode yang dapat digunakan, yaitu injeksi air untuk Lapangan Minas dan injeksi uap untuk Lapangan Duri. Minyak di Lapangan Duri merupakan minyak mentah berat dengan tingkat kekentalan yang tinggi.

“Chevron selalu memastikan bahwa rencana penerapan teknologi EOR dijalankan secara teliti mengingat skala lapangan yang sangat besar,” katanya.

Penggunaan teknologi terkini dan terdepan juga dilakukan oleh Chevron Indonesia Company Ltd, anak usaha Chevron IndoAsia Bussiness Unit, dalam pengembangan proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) Chevron.

Contohnya, proyek Lapangan Bangka di Kalimantan Timur. Ini merupakan representasi penerapan teknologi terkini Chevron pada tahap pertama proyek IDD demi mendukung pemerintah dalam mencapai target lifting migas nasional. Lapangan Bangka mulai memproduksi gas alam pertamanya akhir Agustus 2016.

“Gas pertama Proyek Bangka ini merupakan pencapaian penting untuk terus mendukung pemerintah menghasilkan energi secara selamat, efisien, dan andal bagi Indonesia,” kata Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit Chuck Taylor.

Menurut Taylor, proyek ini menunjukkan komitmen Chevron membawa kemampuan global dan teknologi terkini bagi Indonesia serta menerapkan praktik terbaik dan keahlian dari proyek-proyek pengembangan laut dalam perusahaan di seluruh dunia.

Proyek Bangka memiliki kapasitas terpasang gas sebesar 110 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan 4.000 barel kondensat per hari. Chevron memegang 62% saham kepemilikan di Proyek Bangka dengan mitra lainnya, yaitu Eni 20% dan sisanya Tip Top sebesar 18% .
Melalui berbagai inovasi dan keterampilan karyawannya, Chevron mampu mempertahankan posisi sebagai produsen minyak mentah terbesar nasional.

Dari lapangan-lapangan minyak darat di Riau, Sumatera dan lapangan lepas pantai di Kalimantan Timur, Chevron memproduksi lebih dari 12 miliar barel minyak demi memenuhi kebutuhan energi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dalam mengoperasikan blok migas, Chevron bersama para mitra joint venture bekerja di bawah pengawasan dan pengendalian SKK Migas berdasarkan kontrak bagi hasil (PSC).
Selama 93 tahun atau hampir satu abad Chevron telah menjadi mitra utama dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia, menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan mendukung pengembangan masyarakat di wilayah operasi di Tanah Air.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar mengakui bahwa penggunaan teknologi baru untuk meningkatkan produksi migas diperlukan karena karakteristik lapangan migas yang ada di Indonesia sudah berubah.

Menurut dia, era lapangan migas yang memiliki cadangan besar itu sudah tidak ada. Temuan juga tidak ada yang besar. Jika terus mengandalkan teknologi lama maka produksi yang sudah menurun, akan makin menurun. (DR/ANT)