Dari kiri ke kanan: Widodo, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Ricksy Prematuri, dan Herlan bin Ompo, para terdakwa kasus bioremediasi saat melaporkan diskriminasi hukum yang menimpa mereka ke Komnas HAM.

Dari kiri ke kanan: Widodo, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Ricksy Prematuri, dan Herlan bin Ompo, para terdakwa kasus bioremediasi saat melaporkan diskriminasi hukum yang menimpa mereka ke Komnas HAM.

JAKARTA – Sabar dan tawakal, begitulah ekspresi Endah Rumbiyanti sesaat setelah mendengarkan penjelasan Ketua Majelis Hakim dalam kasus bioremediasi, yang menyatakan pembacaan putusan untuknya ditunda hingga 18 Juli 2013. Tak ada lain yang dilakukan ibu lima anak ini, kecuali terus memanjatkan doa, demi mendapatkan kejujuran aparat penegak hukum yang menangani kasusnya.

Pada Kamis pagi, 11 Juli 2013, Rumbi telah bersiap di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Putusan atas kasus hukum yang menimpa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia ini, dijadwalkan akan dibacakan pada pukul 09.00 WIB.

Pengunjung sidang tampak membludak, baik dari manajemen Chevron, sesama karyawan, keluarga dan kerabat, serikat pekerja, para alumni Universitas Indonesia (UI) tempat Rumbi meraih gelar sarjana, dan beberapa pihak lain yang juga datang untuk memberikan dukungan kepada perempuan cantik ini.      

Pukul 09.45 WIB, Sudharmawati Ningsih selaku Hakim Ketua dalam perkara bioremediasi, sempat membuka sidang. Namun tidak lama kemudian, sidang kembali ditutup dengan alasan Majelis Hakim masih membutuhkan waktu untuk bermusyawarah, terkait putusan yang akan dijatuhkan pada Rumbi.

Sudharmawati Ningsih menyatakan, sidang putusan untuk terdakwa Endah Rumbiyanti, ditunda dan dijadwalkan kembali pada 18 Juli 2013. Penundaan sidang putusan ini adalah kali kedua, setelah sehari sebelumnya majelis hakim juga menunda sidang putusan untuk terdakwa Kukuh Kertasafari, dengan alasan yang sama, perlu waktu lebih panjang untuk bermusyawarah.  

Ditemuai sesuai sidang yang ditunda, eksporesi Rumbi tampak datar, namun terlihat ketegaran dari sorot matanya. Ia mengaku tak mau banyak berspekulasi, mengapa majelis hakim menunda pembacaan putusan untuknya. Rumbi menyatakan hanya ingin berdoa dan terus berdoa, demi sebuah putusan yang jujur dari majelis hakis kasus bioremediasi.

“Saya berdoa dan terus akan berdoa bahwa Allah SWT akan membukakan mata hati kita, untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan diberikan kekuatan untuk menjalankannya, dan mengetahui kebathilan (kejahatan) sebagai kebathilan, dan kita diberikan kekuatan untuk meninggalkannya,” ujar Rumbi.  

“Insya Allah, kebebasan saya dari musibah ini akan berjalan seiring dengan kejujuran para penegak hukum,” pungkasnya sambil permisi ke awak media mengambil air wudhu untuk sholat dhuhur.

 Bagaikan Kisah dalam Film

Terdakwa Endah Rumbiyanti yang lebih suka disapa Rumbi ini, adalah salah satu lulusan terbaik UI, tdan karyawan yang sukses berkarir di Chevron Indonesia sejak 1997. Karena prestasinya, beberapa kali Rumbi mendapatkan penugasan ke luar negeri dari Chevron.

Hal ini juga yang menjadi tanda tanya besar bagi Rumbi, mengenai alasan Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dirinya menjadi tersangka dan menunututnya sebagai terdakwa di muka pengadilan.

“Saya dituduh Kejagung telah melakukan tindak  pidana korupsi dalam proyek bioremediasi CPI yang dikerjakan oleh dua kontraktor CPI yang telah berlangsung pada periode 2006 – 2011. Padahal dalam periode tersebut saya sedang bertugas di Amerika Serikat, dan saya hanya bekerja sekitar satu tahun di Indonesia. Pekerjaan itu pun tidak ada hubungannya dengan proyek bioremediasi,” jelasnya.

Menurut Rumbi, selesai dari penugasan di Amerika Serikat di akhir 2010, dirinya baru diangkat menjadi manajer lingkungan untuk operasi Sumatera pada Juni 201, hanya beberapa bulan sebelum surat penyelidikan Kejagung terkait proyek bioremediasi diterima oleh CPI pada 5 Oktober 2011.

Tak jauh berbeda dengan terdakwa Kukuh Kertasafari, Rumbi mengaku apa yang menimpa dirinya seperti sebuah film thriller, namun ini nyata dalam kehidupannya.

Seperti yang terungkap di persidangan, terdakwa ditelepon oleh atasannya bahwa manajemen CPI mencari orang yang bisa menjelaskan soal bioremediasi ke Kejagung. Awalnya terdakwa menolak karena hanya tahu soal ilmunya, tapi tidak tahu soal proyeknya. Manajemen CPI tetap memutuskan bahwa terdakwa yang memberi penjelasan, sehingga terdakwa berangkat ke kantor Kejagung.

“Saya dianggap oleh atasan saya dan manajemen CPI memiliki kecakapan dalam memberikan penjelasan dan secara teori pernah belajar bioremediasi. Oleh karena itu saya diminta memberikan keterangan ke Kejagung terkait proyek bioremediasi pada bulan Desember 2011,” terangnya.

Apa boleh dikata, malang tak dapat dicegah. Pasca dirinya memberikan penjelasan, Kejagung dengan gagah berani menyatakan bahwa Rumbi sebagai manajer lingkungan, harus bertanggung jawab atas proyek bioremediasi yang dianggap bermasalah. Rumbi dianggap tahu mengenai laporan-laporan terkait proyek pembersihan tanah tercemar limbah itu.

“Saya tak mengira bahwa penyidik tidak berkoordinasi dengan manajemen perusahaan tempat saya bekerja (CPI) untuk mendapatkan klarifikasi soal tugas dan tanggung jawab pekerjaan dan jabatan saya, tapi langsung memutuskan saya harus bertanggung jawab,” ungkapnya sedih.  

Padahal sebagai manajer lingkungan, Rumbi mengaku tidak terlibat dalam pekerjaan bioremediasi. “Bioremediasi tidak berada di bawah kewenangan tim HES yang menjadi tanggung jawab saya. Ada tim lain yaitu tim IMS-REM yang dipimpin oleh seorang ekspatriat, yang bertanggung jawab atas proyek bioremediasi,” jelasnya berulang kali dalam persidangan.

Buah Hati Menderita

Selepas sholat dhuhur, Rumbi kembali dikerubuti awak media, ditanya soal penundaan pembacaan putusannya. Ibu lima anak ini pun tersenyum, dan hanya mengatakan bahwa ia memahami kebutuhan majelis hakim untuk mempelajari semua fakta-fakta sidang secara obyektif, melihat kembali kesaksian dan pendapat para ahli yang kredibel, sekaligus mengambil keputusan yang cermat, adil dan benar.

Toh Rumbi tak menampik, dirinya saat ini resah karena khawatir apabila dirinya harus kembali berpisah dengan kelima buah hatinya, yang selama proses hukum yang sudah berjalan lebih dari setahun ini sudah sangat menderita. Terlebih saat dirinya ditahan oleh Kejagung selama 63 hari di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu.

Ditanya soal harapannya terkait putusan yang akan dibacakan hakim pada 18 Juli mendatang, Rumbi menyampaikan “Apakah saya memang harus divonis melanggar hukum, hanya karena saya bersedia memberikan penjelasan soal teknologi bioremediasi ke Kejagung, meski sama sekali tidak bertanggung jawab pada proyek bioremediasi? Padahal saya mau memberikan penjelasan itu, hanya karena ingin bertukar ilmu demi bakti saya pada negara dan perusahaan”.  

“Jika saya tidak berada di Indonesia ketika proyek bioremediasi dijalankan, yang saya sendiri tidak terlibat di dalamnya, lalu atas alasan hukum apa saya didakwa melanggar hukum dan korupsi? Apakah karena saya yang ditugaskan CPI untuk menerangkan? Atau karena titel jabatan saya sebagai manajer lingkungan walaupun tupoksi saya tidak seperti yang diduga penyidik?,” ucapnya lembut.

“Kalau itu terjadi, saya serahkan semuanya kepada Allah SWT yang memberikan hidup dan kehidupan kepada saya dan keluarga. Allah Maha Adil. Namun setelah saya, betapa akan banyak sekali para juru bicara, atau seseorang karena titel jabatannya, harus menjadi penanggung jawab suatu masalah hukum,” pungkas Rumbi.

(Abraham Lagaligo /abrahamlagaligo@gmail.com)