Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Sidang lanjutan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) hari ini, Senin, 2 September 2013, berjalan kilat. Ketua Majelis Hakim hanya membuka sidang, dan menutupnya kembali karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) gagal mendatangkan empat saksi yang akan diperiksa. Pada persidangan sebelumnya, keterangan saksi yang dihadirkan JPU justru mementahkan dakwaan.

Pada sidang sebelumnya, Kamis, 29 Agustus 2013, JPU menghadirkan saksi Syafrul, yang merupakan karyawan PT Sumigita Jaya, kontraktor bioremediasi PT CPI. Ia bekerja untuk PT Sumigita Jaya sejak 2006-2013 sebagai koordinator lapangan.

Dalam rentang waktu tersebut, pekerjaan yang dilakukannya adalah processing di empat Soil Bioremediation Facilities (SBF) di lapangan CPI Minas, Riau. “Namun sejak kasus bioremediasi mencuat akhir 2012, segala aktivitas Sumigita terhenti,” ujarnya.

Saksi Syafrul menceritakan, dalam melaksanakan pekerjaannya, mula-mula diambil sampling oleh ahli dari Sumigita, Mellyanti Sidauruk, guna mengetahui Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) yang terkandung dalam tanah.

Untuk melakukan tugas ini, Mellyanti telah mendapatkan pelatihan tentang bioremediasi selama kurang lebih satu bulan, terbukti dari sertifikat yang dimiliki Mellyanti. Pengambilan sampling itu diawasi oleh Adib, dari PT CPI.   

Setelah TPH tanah diketahui, kata Syafrul, ia dan timnya dari Sumigita kemudian melakukan processing, hingga TPH tanah kurang dari 1%. Lamanya waktu processing hingga TPH tanah mencapai kurang dari 1%, antara 4 sampai 5 bulan.

“Pernah yang paling cepat tiga bulan, tapi tidak pernah 14 hari,” terangnya menjawab pertanyaan penasihat hukum tentang kabar bahwa ada suatu proses bioremediasi yang bisa dilakukan hanya dalam waktu 14 hari.

Dalam melakukan pekerjaan itu, terang Syafrul, dirinya tidak berpedoman pada kontrak. Melainkan pada work order (program kerja, red) dan SOP (Standart Operating Procedure) yang sudah dibuat PT CPI.

Sempat jaksa menanyakan “bakteri apa yang dicampurkan ke tanah dalam proses bioremediasi?”. Saksi Syafrul pun menyangkal. Menurutnya, selama bekerja untuk Sumigita di lapangan Minas CPI, yang dicampurkan setahu dia adalah pupuk.       

Jawaban Syafrul ini, menunjukkan bahwa kegiatan bioremediasi di Minas sepenuhnya menggunakan teknologi CPI, selaku pemegang izin pelaksanaan bioremediasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Sedangkan PT Sumigita Jaya, seperti yang diterangkan Syafrul di depan persidangan, hanyalah kontraktor umum di bidang sipil, yang menjalankan kegiatan-kegiatan teknis bioremediasi.

Begitu pun dengan SBF (fasilitas yang digunakan untuk processing kegiatan bioremediasi), menurut Syafrul tidak dibangun oleh Sumigita. Sejak awal Sumigita Jaya mengerjakan pekerjaan teknis bioremediasi di Minas, SBF itu sudah ada.

Sebagai kontraktor sipil umum, lingkup tugas Sumigita diantaranya memelihara alat-alat yang digunakan dalam bioremediasi. Jika ada yang rusak, maka Sumigita harus memperbaikinya sesuai dengan lingkup pekerjaan sipil.

“Selain bioremediasi di CPI, Sumigita juga melakukan pekerjaan kontraktor sipil umum lainnya. Tapi khusus saya, hanya ditugaskan mengerjakan proyek bioremediasi di PT CPI. Work order yang diberikan PT CPI kepada saya bertahap. Prosedur bakunya, setelah keluar hasil laboratorium maka akan keluar work order baru dari CPI,” tegasnya.

Tidak Pernah Ada Penghentian

Selama tujuh tahun mendapat tugas dari PT Sumigita Jaya untuk mengerjakan proyek bioremediasi CPI di Minas, saksi Syafrul juga mengaku tidak pernah mendapat kabar atau mengetahui adanya perintah perubahan kerja karena KLH tidak menyetujui sesuatu. Semua yang dikerjakannya sudah berdasarkan pengawasan dan persetujuan KLH. “Sejak 2006 sampai 2012 peraturannya sama,” tandas Syafrul.

Keterangan saksi Syafrul ini jelas-jelas mementahkan dakwaan JPU, yang diantaranya menyatakan kegiatan bioremediasi CPI melanggar aturan, karena Sumigita selaku kontraktor tidak memegang izin untuk melakukan kegiatan bioremediasi dari KLH.

Dalam beberapa persidangan, pihak KLH juga telah menjelaskan bahwa yang wajib memiliki izin bukanlah kontraktor, melainkan CPI selaku pemilik limbah dan pemilik teknologi pengolahan limbah. Namun JPU tetap bersikukuh dengan dakwaannya.  

Dalam wawancara telpon hari ini, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, membenarkan bahwa CPI  yang memiliki teknologi termasuk SOP-nya dan izin terkait kegiatan bioremediasi yang sampai sekarang tidak pernah dipersoalkan oleh KLH sebagai pihak yang berwenang.

“Bahkan dalam persidangan kasus ini, para pejabat berwenang dari KLH menjelaskan bahwa proyek bioremediasi CPI telah memiliki izin dan prosedur yang dijalankan telah sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku termasuk Kepmen LH 128/2003,” jelas Dony.

“Kami pun memiliki dokumen-dokumen izin dan berita acara yang menerangkan bahwa KLH telah memberikan arahan, pengawasan dan persetujuan atas dijalankannya proyek bioremediasi ini dan penjelasan bahwa kontraktor kami yaitu PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia tidak memerlukan izin karena izin tersebut telah dimiliki CPI ,” lanjut Dony.

Para kontraktor, menurut Dony, telah menjalankan tugasnya sesuai dengan kontraknya dan pengerjaan bioremediasi CPI telah mengikuti SOP yang sampai saat ini tetap diakui oleh para ahli dan KLH sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain Kepmen LH 128/2003 sebagai payung hukum pelaksanaan bioremediasi pada industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)