JAKARTA – Kebijakan pemerintah untuk mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) penugasan jenis Premium mulai memicu aksi penyelewengan oknum penyalur di daerah. Ini disebabkan harga Premium yang makin jauh dibanding harga BBM nonsubsidi PT Pertamina (Persero)  jenis Pertalite dan Pertamax yang makin tinggi seiring kenaikan harga minyak dunia.

Henry Achmad, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), mengatakan BPH menunjukkan ada beberapa pemain nakal memanfaatkan kondisi saat ini, sehingga terjadi kelangkaan Premium di beberapa daerah.

“Margin Premium lebih kecil dari Pertalite atau Pertamax. Premium margin Rp280 per liter dan Pertalite Rp 400 per liter. Sebagian penyalur di lokasi tertentu melihat animo masyarakat dialihkan ke Pertalite, dia tidak menebus Premium, dia minta saja Pertalite,” kata Henry saat konferensi pers kantor BPH Migas Jakarta, Rabu (7/3).

Harga Premium di wilayah Jawa Madura Bali (Jamali) dipatok sebesar Rp6.550 per liter dan di luar Jamali sebesar Rp6.450 per liter. Dan Solar dipatok sebesar Rp5.150 per liter.

Untuk BBM nonsubsidi, harga termurah yakni Rp7. 600 per liter untuk jenis Pertalite. Serta Pertamax sebesar Rp 8.900 per liter.

Pada 2018, jatah kuota BBM tertentu atau Solar sebesar 15,98 juta kiloliter (KL) dengan perincian BBM tertentu Solar 15,37 juta KL serta minyak tanah atau kerosine 610 ribu KL. Untuk BBM khusus penugasan atau Premium di luar Jamali ditetapkan 7,5 juta KL. Alokasi tersebut lebih besar dari usulan Pertamina 5,46 juta KL, dan lebih besar dibanding realisasi tahun lalu.

Menurut Henry, meskipun pada tahun lalu realisasi penyaluran Premium tidak melampaui atau bahkan kurang dari kuota namun tetap saja ketersediaannya tetap harus dijamin badan usaha.

Realisasi distribusi di 2017 untuk premium 5 juta KL, namun BPH MIgas berupaya untuk lebih mengamankan pasokan sehingga kuota tersebut tetap dilebihkan.

“Kenapa kok misalnya di 2017 itu 12,5 juta KL dan 2018 7,5 juta KL, karena sudah banyak yang 2017 realiasinya itu sebagian dari Premium masyarakat sudah lebih sadar,” ungkap Henry.

Ragam kasus kelangkaan Premium ditemukan BPH Migas terjadi di beberapa daerah seperti di Riau dan Lampung.

Muhammad Ibnu Fajar, anggota Komite BPH Migas menegaskan pemerintah mendukung Pertamina untuk memasarkan bahan bakar nonsubsidi, selain karena itu juga merupakan hak perusahaan dan juga sekaligus memberikan pelayanan lebih baik ke masyarakat melalui penyediaan bahan bakar dengan kualitas lebih baik.

“Kita menganjurkan Pertamina, buat hal menarik untuk masyarakat membeli Pertalite. Tapi karena ini sifatnya penugasan, Premium tidak boleh dihilangkan. Ini yang barangkali kedepan kita minta badan usaha untuk melakukan sosialisasi dan ini hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Jadi tidak ada kelangkaan BBM premium dan solar,” kata Ibnu.(RI)