JAKARTA– Pengembangan transportasi bernahan bakar gas hingga saat ini jauh dari harapan. Beragam upaya yang dilakukan pemerintah untuk bisa meningkatkan pemanfaatan gas yang jumlahnya melimpah di Indonesia selalu berakhir di tengah jalan.

Kondisi tersebut diperparah dengan adanya saling lempar tangung jawab antar Kementerian, misalnya antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Agung Kuswardono, Kepala Seksi Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Migas, Kementerian ESDM menyatakan industri hilir migas pasti dengan sendirinya akan siap menyediakan bahan bakar gas dengan catatan ada kejelasan market distribusinya. Menurut dia program BBG untuk transportasi sudah berada dalam tahap mengkhawatirkan.

“Kami coba dari 2011, tapi utilisasi masih dibawah 30% semua, ada beberapa yang kami tidak jalankan karena tidak ada konsumen,” kata Agung disela seminar tentang Gas Untuk Industri di Kemenperin, Jakarta, Rabu (17/10).

Padahal, menurut Agung, pemakaian BBG akan sangat banyak memberikan manfaat tidak hanya dari sisi perawatan lingkungan karena tidak lagi gunakan bahan bakar minyak, yang memiliki tingkat emisi tinggi, tapi juga mampu menekan pengeluaran negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) karena tidak perlu lagi impor.

“Dengan gas kita ingin efisienkan anggaran subsidi dari transportasi dan LPG duit APBN bisa pakai bangun infrastruktur pipa misalnya di jalur yang badan usaha melihatnya tidak ekonomis. Nanti kan kurangi biaya dan harga di end user,”ungkap Agung.

Selama ini market dari BBG memang belum berkembang, upaya pemerintah untuk merangsang penggunaan gas bagi mobil-mobil melalui pembagian konverter kit juga sia-sia.
Menurut Agung jika ingin sukses, program diversifikasi dari BBM ke BBG harus didukung penuh dari industri otomotif nasional.

“Ini bagaimana kita menciptakan kendaraan gunakan gas jadi sudah BBG dari pabrikannya. Kami sudah berupaya dengan bagikan konverter kit tapi itu tidak permanen,” ujar dia.

Sebelumnya pemerintah juga telah menerbitkan regulasi khusus yang mewajibkan setiap SPBU untuk menyediakan satu nozzle gas.

Saat ini Indonesia memiliki 68 SPBG yang tersebar diseluruh wilayah. Dalam roadmap yang dicanangkan pemerintah dengan adanya Permen ESDM Nomor 25 tahun 2017 ditargetkan akan ada penambahan 150 SPBG melalui pembangunan nozzle gas disetiap SPBU hingga 2019 menjadi 210 SPBG. Jumlah ini akan terus bertambah pada 2020 menjadi 289 SPBG, kemudian pada 2025 menjadi 800 SPBG dan 1.300 SPBG pada 2030.

Dyah Winarni Poedjiwati, Staf Ahli Menteri Bidang Sumber Daya Industri Kemenperin, menyatakan perlu ada effort luar biasa besar jika memang ingin benar-benar implementasikan BBG. Selama ini Kementerian perindustrian, kata dia, ingin mendorong penggunaan gas untuk transportadi tapi di lapangan masyarakat masih kesulitan mencari gas nya. Ini bisa dilihat dari program konverter kit yang akhirnya berhenti ditengah jalan.

“Konverter kit sudah jalan tapi mana gasnya. Tapi gasnya cari susah, industri mau kebijakan yg betul-betul masif dimana industri otomotif membuat mobil dedicated bahan bakar gas,” tandasnya.

Selain gas, pemerintah juga mendorong pengembangan mobil bertenaga listrik dan bahan-bahan baku energi terbarukan. “Gaikindo bingung, mau mobil listrik, biodiesel, bioethanol atau gas, yang jelas kebijakannya harus komperehensif,” kata Dyah. (RI)