JAKARTA – Sebanyak 64 proyek pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) yang dibangun produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) yang sudah menandatangani perjanjian jual beli listrik dengan PT PLN (Persero) terancam molor. Kondisi ini akibat IPP yang masih harus melakukan perhitungan ulang terhadap investasi yang harus dikeluarkan.

Halim Kalla, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Bidang EBT, mengungkapkan perubahan regulasi yang mendadak membuat para pelaku usaha harus menghitung ulang investasi yang harus dikeluarkan.

“Ya bisa saja (molor), sebetulnya banyak yang tanda tangan itu terus terang belum lengkap dokumen dan financial closing. Namun karena waktu itu deadline, sehingga diusahakan jadi temen-teman memang banyak belum lengkap semuanya,” kata Halim saat ditemui di sela pelaksanaan Rakornas Kadin di Jakarta, Selasa (3/10).

Menurut Halim, banyaknya proyek yang belum menyelesaikan perhitungan investasi merupakan buntut dari kebijakan pemerintah yang kerap mengotak-atik regulasi dalam waktu singkat. Padahal kepastian hukum sangat diperlukan pelaku usaha yang mengandalkan pinjaman dana dari perbankan, terutama agar nilai Internal Rate Return (IRR) sesuai dengan keekonomian. Apalagi perbankan tidak bisa mentolerir adanya keraguan dari sisi hukum.

“Ini kadang-kadang bank juga menarik diri. Tiba-tiba IRR-nya rendah jadi turun, karena harus mengikuti harga baru sehingga perhitungan berubah lagi. Kalau dengan mengikuti harga lama bisa dapat harga 10 sen per KWh dengan harga baru bisa 7 sen per KWh jadi kan harus merubah lagi. Karena terlalu rendah harga yg ditawarkan pemerintah sehingga menjadi hitung-hitungan berubah,” ungkap Halim.

Pada Agustus dan September lalu, PLN bersama IPP telah menandatangani 64 PPA yang dilakukan secara dua tahap dengan total kapasitas mencapai 548,57 megawatt (MW) (di luar kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi).

Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 juga mengatur perubahan formula harga pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik, PLTB, PLTBm dan PLTBg.

BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga patokan pembelian tenaga listrik semula sama dengan BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat, menjadi ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Dengan adanya masalah ini maka target capaian realisasi pembanhkit berbassis EBT yang dicanangkan pemerintah juga terancam.

Halim menyatakan pemerintah harus merubah perhitungan realisasi pengembangan EBT karena perhitungan capaian itu harus berdasarkan kapasitas terpasang bukan berdasarkan penandatanganan.

“Pemerintah untuk memberikan gambaran EBT, jangan melihat berapa yang tandatangan tapi berapa yang sudah bangun, yang sudah jalan,ada hasil realnya ada yang terpasang,” kata Halim.(RI)