BOGOR – Semua negara di Asia Tenggara dinilai gagal mendorong pemanfaatan biofuel, untuk menggantikan peran minyak terutama pada sektor transportasi. Saat harga minyak tinggi, semangat itu menggelora. Namun ketika harga minyak normal, kemajuan biofuel sangat mengecewakan.

Penilaian itu diungkapkan Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) Zoe Cormier dalam Blog CIFOR pada Jumat, 1 Februari 2013. Menurutnya, beberapa tahun yang lalu pemerintah di seluruh Asia Tenggara menaruh harapan tinggi pada biofuel.

Harapan itu menggelora seiring dengan harga minyak dunia yang terus meroket, sehingga biofuel diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor, meningkatkan peluang kerja bagi masyarakat pedesaan, dan berperan dalam upaya global mengurangi perubahan iklim.

Akan tetapi, kata Zoe, semua negara gagal memenuhi target mereka sendiri. Mengutip studi CIFOR belum lama ini, menurutnya ada beberapa faktor mandeknya pengembangan biofuel di Asia Tenggara. Pertama, sebagian negara masih menerapkan kebijakan subsidi pada bahan bakar minyak.

“Kebijakan subsidi bahan bakar fosil itu sudah terlalu lama diterapkan, sehingga tidak mudah mengajak konsumen untuk beralih ke bahan bakar alternatif atau energi terbarukan, yang harganya lebih mahal,” sebut hasil penelitian itu.

Pemerintah negara-negara di Asia Tenggara, kata Zoe, juga harus bergulat dengan kekhawatiran dunia bahwa hutan akan dialihfungsikan untuk lahan menanam bahan baku biofuel. Penggunaan minyak sawit, tebu, dan tanaman lainnya untuk energi, juga dikhawatirkan mengancam ketahanan pangan.

“Padahal saat ini, Indonesia yang telah menjadi produsen sawit terbesar di dunia, hanya menggunakan sebagian kecil produksi sawitnya untuk keperluan biofuel, kurang dari 5%,” sebut hasil penelitan CIFOR yang bermarkas di Bogor, Jawa Barat.

Mengutip pendapat Peneliti CIFOR lainnya, Ahmad Darmawan, Zoe menyebutkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara belum berhasil menggapai cita-cita memaksimalkan penggunaan biofuel untuk menggantikan bahan bakar fosil, akibat kombinasi dari kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan dan insentif yang buruk pada pada energi baru terbarukan.

(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)