JAKARTA – Salah satu kunci sukses dalam transisi energi dari konvensional, seperti minyak dan gas atau batu bara menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT) adalah regulasi yang tepat.

“Regulasi yang kondusif menjadi poin penting dalam transisi. Biasanya ada penolakan dalam peyusunan regulasi tersebut,” kata Ulla Tornaes Menteri Kerja Sama dan Pembangunan Denmark saat menyambangi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Selasa (2/5).

Tornaes mengungkapkan selama dua tahun terakhir Denmark telah mempelajari potensi kerja sama di bisnis EBT, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).

Hal ini merupakan tindak lanjut penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) kerja sama bidang EBT dan Konservasi Energi pada 22 Oktober 2015 oleh Menteri ESDM dan Menteri Energi, Bangunan dan Iklim Kerajaan Denmark.

“Sekitar 14 tahun lalu Denmark mengalami masalah ketahanan energi karena masih bergantung 100% kepada minyak dari Timur Tengah yang tiba-tiba harganya melonjak,” ungkap Tornaes.

Menurut dia, butuh proses dalam transisi tersebut dan regulasi adalah salah satu jalan untuk bisa mencapai pemanfaatan EBT secara maksimal.

Kementerian ESDM, Selasa, menggelar Forum Bisnis Indonesia – Denmark untuk Energi. Forum tersebut bertujuan memfasilitasi hubungan kerja sama business to business antara Indonesia dan Denmark, khususnya di sektor PLTB.
Tujuh perusahaan Denmark menyatakan berminat untuk turut mengembangkan PLTB di Indonesia, di antaranya Siemens Wind Power, Burmeister & Wain Scandinavian Contractor (BWSC), Vestas Wind System, Dong Energy, Welltec serta Babcock & Wilcox Volund.

Ketertarikan tersebut menandakan potensi bayu atau angin sebagai salah satu EBT cukup besar di Indonesia.
Ignasius Jonan, Menteri ESDM mengatakan, potensi PLTB di Indonesia besar, namun sebagai negara kepulauan tidak semua wilayah memiliki hembusan angin yang cukup kuat untuk dikonversi menjadi listrik.

“Kita punya paling tidak 500 kota dan kabupaten di Indonesia, tapi tidak semua butuh PLTB. Jadi (Denmark) bisa memilih wilayah yang sesuai,” kata Jonan.

Dalam pemetaan yang dilakukan bersama dengan Denmark sebagian besar potensi angin berada di wilayah timur Indonesia, seperti Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara serta Papua.

Jonan menegaskan pengembangan EBT dari sumber energi manapun harus bisa dimanfaatkan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harganya harus bisa kompetitif. Karena akan percuma jika listrik ada tapi harganya tidak terjangkau bagi masyarakat.

Ketersediaan listrik dengan harga mahal justru tidak sehat dan berdampak pada ketidakstabilan ketahanan energi nasional. “Lebih baik tidak ada listrik sama sekali dari pada ada listrik tapi tidak dapat dibeli karena tidak terjangkau,” tegas Jonan.(RI)