JAKARTA – Pemerintah diminta menindaklanjuti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan adanya pembengkakan biaya operasi yang bisa dikembalikan (cost recovery) sebesar Rp 2,56 triliun. Untuk itu, audit lanjutan atau audit investigasi harus dilakukan.

Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR, menyatakan temuan BPK memang belum final dan masih potensi dari hilangnya atau berkurangnya penerimaan negara, namun tetap bisa berpotensi dikembalikan ke negara karena itu harus ada tindak lanjutnya.

“Karena bisa saja dalam sistem cost recovery, alfa berikan kalkulasi dan terjadi kesalahan hitung atau overlook. SKK Migas masih bisa ditagih kemudian hari, makanya hasil dari audit BPK perlu ditindaklanjuti, ” kata Satya kepada Dunia Energi, Senin (10/10).

img_1091

Namun demikian Satya meminta tindak lanjut temuan BPK harus benar-benar secara jeli dilakukan. Pasalnya ada dua kemungkinan yang menyebabkan pembengkakan terjadi, yakni pertama memang karena kesalahan perhitungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Atau bisa juga ada upaya peningkatan investasi untuk bisa meningkatkan produksi migas.

“Misalkan kita minta KKKS menaikkan produksi tapi mereka bilang harus tambah investasi. Otomatis dengan investasi baru akan meningkatkan cost recovery,” tukas dia.

Pemerintah, kata Satya, harus turun tangan jika perlu dalam proses audit investigasi. Tidak tertutup kemungkinan adanya keterbatasan auditor BPK dalam melakukan audit.
Dalam laporan semester I 2016 yang telah diserahkan ke Presiden Joko Widodo, BPK mengungkapkan adanya pembebanan biaya-biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam cost recovery sebesar Rp 209,88 juta dan US$ 194,25 juta atau ekuivalen Rp 2,56 triliun. Selain itu, terdapat 10 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) kurang menyetor pajak penghasilan badan dan berpotensi untuk tidak dikenakan denda minimal US$22,21 juta atau seluruhnya ekuivalen Rp 1,08 triliun.(RI)