JAKARTA – Dalam meningkatkan rasio elektirifikasi, pemerintah tetap mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan energi batu bara untuk menopang sistem ketenagalistrikan Indonesia. Hal ini lantaran harga beli tenaga listrik PLTU batu bara masih paling murah, disamping juga cadangan batu bara Indonesia masih yang terbesar yaitu sebesar 29,48 miliar ton dibandingkan dengan minyak bumi.Terhitung Desember 2015, rasio elektrifikasi nasional sebesar 88,30%.

“Dalam rangka meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 97,35% pada 2019 dan pencapaian salah satu sasaran utama RPJMN 2015-2019, yaitu menciptakan ketahanan energi, pemerintah merencanakan untuk membangun pembangkit listrik dengan kapasitas 35 ribu MW, dimana pembangkit listrik tersebut masih didominasi PLTU batu bara, yaitu sebesar 56,97% dari total pembangkit listrik yang direncanakan,” kata Jarman, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Selasa (6/9).

Jarman mengungkapkan, kebutuhan batu bara yang saat ini sebesar 87,7 juta ton untuk PLTU batu bara, akan meningkat seiring dengan adanya proyek pembangkig 35 ribu MW ditambah ongoing 7.000 MW (sedang membangun/konstruksi) yang masih didominasi juga oleh PLTU batu bara.

“Kapasitas total PLTU akan meningkat 25.828 MW pada 2019, sehingga kebutuhan batu bara diperkirakan meningkat menjadi 166,2 juta ton pad 2019,” kata dia.

Namun di sisi lain, kata Jarman, kegiatan pengoperasian PLTU batu bara berdampak terhadap lingkungan hidup seperti menimbulkan emisi gas buang, air limbah dan limbah padat yang mempengaruhi kesehatan, terutama emisi gas buang.

Secara lokal emisi gas buang berdampak langsung terhadap lingkungan sekitarnya seperti emisi SOx dan NOx yang menyebabkan hujan asam, penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) dan lain sebagainya. Secara global (bumi), emisi gas buang dapat menyebabkan terjadinyapemanasan global atau perubahan iklim akibat dari banyaknya emisi CO2 yang dihasilkan dari aktivitas PLTU batu bara.

“Saat ini para pihak (negara-negara) telah menyepakati secara bersama-samauntuk mengendalikan kenaikansuhu bumi yang tidak lebih dari 20 (derajat) melalui Paris Agreement pada Konvensi Para Pihak (Conferences ofParties-COP) UNFCCC ke-21 di Paris pada 2015 yang lalu,” kata Jarman.

Pada COP-21 tersebut, Presiden Joko Widodo telah mendeklarasikan komitmen pemerintah Indonesia ikut aktif menurunkan emisi CO2 (Gas Rumah Kaca-GRK) sebesar 29% di tahun 2030.

“Selain itu melalui dokumen Intended Nationally DeterminedContributions/INDCs) negara Indonesia yang telah didaftarkan ke UNFCCC padasaat COP-21 tersebut, mencantumkan kegiatan pembangunan PLTU batu bara dengan menggunakan teknologi efisiensi tinggi seperti Clean Xoal Technology untuk mencapai 29% penurunan Emisi GRKdi tahun 2030,” tandas Jarman.(RA)