JAKARTA – Proyek kilang minyak yang memproduksi bahan bakar minyak (BBM) sekaligus memproduksi dengan produk petrokimia diyakini akan mengurangi nilai impor yang besar dari industri petrokimia.

Budi Susanto Sadiman, Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik, Olefin dan Plastik (Inaplas), mengatakan saat ini 100% bahan baku industri petrokimia, nafta masih impor dan dibeli dengan harga mahal. Selain nafta, bahan baku industri petrokimia adalah kondensat, gas alam, batu bara dan etana. Namun, nafta adalah bahan baku paling mahal, menyusul kondensat, gas alam, batu bara, serta etana.

“Kalau nanti terintegrasi dengan refinery, berarti bahan baku yang di hulu itu diambil dari refinery 20%,” kata Budi kepada Dunia Energi di Jakarta, Kamis (12/4).

Selain itu, kilang minyak yang integrasi dengan industri petrokimia, akan terbuka peluang untuk kemudahan mendapatkan financial support dan investasinya menjadi lebih murah.

Dalam industri petrokimia, biaya bahan baku berkontribusi 80% beban bagi produksi petrokimia hulu. Sedangkan bagi produksi bahan baku kimia hilir porsinya 60%. Beban produksi menjadi tambah tinggi jika rupiah melemah, lantaran semua masih impor.

Selain Indonesia, industri petrokimia Thailand dan Singapura juga menggunakan nafta sebagai bahan baku produksi. Namun, kapasitas produksi disana mampu menciptakan skala keekonomian.

Produk petrokimia beragam, salah satu produk adalah olefin yang diolah menjadi plastik. Sebelum menjadi plastik, diolah menjadi polipropilena (PP), polietilena (PE), poliester, PVC dan lain sebagainya.

Pada 2012, Thailand menjadi produsen bahan baku plastik terbesar Asia Tenggara. Inaplas mencatat, produksi bahan baku PP dan PE Thailand mencapai 3,21 juta ton per tahun. Menyusul Singapura 2,16 juta ton per tahun dan Indonesia hanya 1,94 juta ton.

Thailand dan Singapura mempunyai kapasitas produksi petrokimia lebih besar dibanding kebutuhan. Pengusaha Thailand juga memiliki saham di Trans Pacific Petrochemical yang berniat membangun refinery minyak dengan PT Pertamina (Persero). Secara tidak langsung, pelaku bisnis petrokimia Thailand sudah menggurita.

PT Chandra Asri Petrochemichal Tbk, juga telah memproduksi sendiri bahan baku kondensat. Perusahaan tersebut juga sedang membangun industri bahan baku berbasis gas alam yang tengah dirintis bersama Ferostal, perusahaan kimia asal Jerman, di Bintuni, Papua.

“Yang jadi masalah kalau kilang terintegrasi, Pertamina tidak pernah punya pengalaman. Sebaiknya Pertamina cari partner. Dulu kan pernah punya partner dari Thailand, tapi tidak jadi. Akan lebih baik jika itu diperbaiki dan mencoba kembali menjalin hubungan dengan Chandra Asri. Karena, Chandra Asri sudah punya fasilitas pelabuhan, lahan. Lalu, kalau membuat petrokimia marketingnya bisa terjamin,” kata Budi.(RA)