JAKARTA – Pemerintah diminta untuk terlebih dulu matangkan kajian terhadap penyerapan listrik di wilayah Kalimantan Utara sebelum mengejar pengembangan potensi listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Nicke Widyawati, Direktur Perencanaan PLN, mengungkapkan kajian terhadap penyerapan listrik harus terlebih dulu disiapkan sebelum memulai pengembangan pembangkit. Kesiapan terhadap kebutuhan listrik akan masuk dalam perhitungan investasi.

“Kita harus bikin demand dulu. Demand disana (Kaltara) baru 60 MW. Padahal dari hasil kajian potensinya bisa sampai 9.000 MW, harus ada demand yang besar juga,” kata Nicke saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman di Jakarta, Selasa (23/5).

Kaltara diproyeksikan pemerintah sebagai wilayah strategis yang diprioritaskan pengembangannya, termasuk untuk pembangunan pembangkit listrik. Data pemerintah menunjukkan potensi hydro power mencapai 20 ribu MW yang didapatkan dari 20 sungai yang mengalir di daerah tersebut.

Menurut Nicke, salah satu solusi untuk menciptakan demand baru dalam jumlah besar adalah dengan membangun pusat industri. Ketika sudah ada rencana pengembangan pusat perindustrian maka secara paralel pengembangan listrik juga bisa dilakukan.

PLN mengaku sudah memulai koordinasi dengan industri dalam negeri agar melirik pengembangan industri di provinsi termuda tersebut. PLN dipastikan akan masuk dalam proyek tersebut sebagai off taker listrik. “Kita bicara BUMN untuk bangun industri, jadi bisa paralel dengan bangun PLTA-nya. Tanpa itu, supply nanti tidak ada yang mengambil,” ungkap dia.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, mengatakan tidak sedikit yang berminat untuk menanamkan investasi pembangkit. Bahkan, dalam KTT One Belt One Road (OBOR) di Beijing, China beberapa waktu lalu ada investor China dari Grup CItic yang berminat menggarap potensi lanjutan PLTA di Kaltara yang diperkirakan mencapai 7.200 MW.

Namun Luhut menegaskan setiap investor yang masuk berinvestasi pembangkit listrik di Indonesia harus menyanggupi untuk menyediakan listrik dengan harga yang kompetitif. Serta tidak berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar.
“Kalau bangun disini harus bisa 4-5 sen per KWh. Mereka setuju dan mengatakan ya sudah raw material yang datang dari Australia dan Afrika kami proses saja disitu,” ungkap dia.

Selain China, investor lokal ternyata juga sudah melirik Kaltara. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) salah satunya. Inalum menyatakan berminat untuk mengembangkan pembangkit hydro power berkapasitas 1.500 MW. “Mereka butuh 1.500 MW listrik. Mungkin mereka mengalami di Danau Toba, sekarang dua sen per KWh. Jadi semua lihat jadi peluang,” tandas Luhut.(RI)