JAKARTA – DPR menilai kebijakan pemerintah yang menerapkan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) satu harga, khususnya di Papua dan daerah-daerah terluar perlu perhatian khusus. Untuk itu, DPR akan terus mengawasi kebijakan tersebut untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan di lapangan yang bisa menabrak aturan perundang-undangan.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan perhatian khusus dalam pelaksanaan BBM satu harga di seluruh Indonesia nantinya bisa menggunakan mekanisme subsidi atau akan dibebankan kepada operasional PT Pertamina (Persero).

“Jika memang mekanisme kebijakan BBM satu harga tersebut dibebankan ke Pertamina, maka konsekuensinya Pertamina harus melakukan efisiensi besar-besaran dalam operasionalnya, supaya dapat memaksimalkan profit,” kata Satya, Jumat (18/8)

Selain opsi untuk membebankan ke Pertamina, kebijakan BBM satu harga bisa juga dilakukan dengan mekanisme subsidi silang.

“Ini yang menjadi poin-poin penting dalam pembicaraan DPR dengan pemerintah agar kebijakan BBM satu harga tetap bisa diawasi di lapangan,” tukas Satya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mengungkapkan, program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga menunjukkan perkembangan yang positif.

Hingga 14 Agustus 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat BBM Satu Harga sudah berhasil menjangkau 22 titik di seluruh wilayah Indonesia.

Laporan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) dan Pertamina, menyebutkan ada penambahan satu titik lembaga penyalur baru sehingga jumlah (BBM Satu Harga) saat ini menjadi 22 titik. Rincian 22 titik tersebut menyasar ke Provinsi Papua sebanyak 8 titik (Kab. Puncak, Duga, Yalimo, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Tolikara, Intan Jaya, Paniai), Provinsi Papua Barat sebanyak 2 titik (Kab. Pegunungan Arafak, Sorong Selatan) serta 1 titik di Provinsi Maluku Utara (Kab. Morotai).

Sisanya, yakni 11 titik menyebar ke Kalimantan Utara (Kab. Nunukan), Sumatera Utara (Kab. Nias Selatan), Sumatera Barat (Kab. Kep. Mentawai), Jawa Tengah (Kab. Jepara), Jawa Timur (Kab. Sumenep), Nusa Tenggara Barat (Kab. Sumbawa), Nusa Tenggara Timur (Kab. Sumba Timur), Sulawesi Tenggara (Kab. Wakatobi), Kalimantan Timur (Kab. Mahakam Hulu), Kalimantan Barat (Kab. Bengkayang), dan Sulawesi Utara (Kab. Kepulauan Talaud).

Daerah-daerah tersebut merupakan daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) yang menjadi fokus perhatian pemerintah.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengakui kemapanan insfrastruktur merupakan tantangan tersendiri dalam merealisasikan program BBM Satu Harga di daerah 3T tersebut.

“Kendalanya itu adalah satu infrastruktur. Ada yang disalurkan melalui pesawat udara. Yang kedua itu adalah kerja sama masing-masing stakeholder di masing-masing daerah supaya membuat BBM itu harganya sama,” kata dia.

Sesuai peta jalan BBM Satu Harga, pemerintah menargetkan pengoperasian 150 lembaga penyalur hingga 2019, masing-masing 54 titik pada 2017, 50 titik pada 2018, dan 46 titik pada 2019.

BBM Satu Harga diharapkan mampu mendorong perekonomian masyarakat setempat karena selama ini BBM dibeli dari pengecer antara Rp8.000 hingga Rp100.000 per liter menjadi hanya Rp6.450 per liter untuk Premium dan Rp5.150 per liter untuk Solar.(RA)