JAKARTA – Kejayaan sektor minyak dan gas nasional yang menjadi kontributor utama pendapatan negara sudah berlalu. Sejak 10 tahun terakhir kontribusi sektor emas hitam terus menyusut, bahkan memberikan beban terhadap keuangan negara karena biaya operasi yang ditanggung negara.

Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan, mengungkapkan masa keemasan sektor migas terakhir kali dirasakan pada kurun waktu 1970-1980-an. Saat itu, lebih dari 50 persen pendapatan negara berasal dari sektor migas. Seiring dengan itu pertumbuhan ekonomi terus meningkat, bahkan Indonesia disebut sebagai Macan Asia dengan mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 9,9 persen.

“Pada 1970 kita sangat bergantung pada minyak,” kata Mardiasmo dalam Rakernas Hipmi 2017 di Jakarta, Senin (27/3).

Namun keadaan berubah mulai 1990-2000. Produksi migas mulai menurun dan berbagai subsidi energi, termasuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) justru meningkat.

Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, mengungkapkan pada 2008 penerimaan migas yang bisa mencapai Rp 300 triliun hanya dihabiskan untuk menanggung subsidi. Keuangan negara kemudian bisa terselamatkan seiring kebijakan pencabutan subsidi BBM.
“Pada 2015 merubah kebijakan subsidi energi dan BBM, sehingga subsidi bisa dikendalikan dan turun hingga Rp150 triliun. Namun penerimaan migas kita juga terus menurun di bawah Rp100 triliun,” ungkap dia.
Sejak 2015, jumlah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor migas menurun hanya Rp 78 triliun dari total Rp 256 triliun atau hanya sekitar 30 persen dari total PNBP.
Disisi lain, untuk mengurangi beban negara akibat menanggung biaya operasi migas, pemerintah merubah skema kontrak dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Jika semula kontrak berdasarkan skema cost recovery, kini berubah menjadi gross split. Skema baru menetapkan bagi hasil antara pemerintah dan KKKS dilakukan diawal dan tidak ada lagi biaya yang ditanggung negara.
Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan dari segi penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), skema gross split akan memberikan kepastian. “Untuk state budget tidak melenceng, karena realisasinya harus dijaga,” kata dia.

Penerapan gross split juga diharapkan dapat melahirkan pola pengelolaan industri migas yang lebih kompetitif dan tidak boros. Karena pembiayaan akan ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor.

Menurut Jonan, dengan kemajuan teknologi serta peningkatan biaya di semua sektor, kompetitif adalah salah satu cara yang harus dilakukan, baik untuk menjamin keberlangsungan perusahaan juga menjaga stabilitas keuangan negara.

“Jadi kalau tidak kompetitif tidak akan sustain. Itu sebabnya kami membuat pengaturan masalah harga, tidak bisa produsen ingin mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya,” tegas Jonan.(RI)