JAKARTA – Kejanggalan dalam berbagai kebijakan pemerintah yang berdampak pada tidak tercapainya berbagai target di sektor energi baru terbarukan (EBT) masih dirasakan para pelaku usaha. Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), mengatakan pada dasarnya pelaku usaha menginginkan ruang dialog dalam pembahasan berbagai kebijakan pemerintah.

Koordinasi antar pelaku usaha sudah digalang untuk bisa kembali membuka dialog dengan pemerintah guna membahas regulasi EBT di tanah air. Untuk itu, beberapa rekomendasi pun disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla.

“Kadin, METI bersama perwakilan asosiasi di sektor EBT menyampaikan rekomendasi kepada Pak Wapres sebagai tindak lanjut pertemuan yang digelar akhir tahun lalu. Mudah-mudahan Pak Jusuf Kalla bisa membujuk Pak Presiden merubah aturan yang ada,” kata Riza kepada Dunia Energi, Rabu (31/1).

Beberapa rekomendasi yang diserahkan kepada Wapres JK di antaranya, terkait keekonomian pembangkit EBT; skema BOOT; pengadaan pengembang; TKDN; panas bumi, pungutan dan iuran; dan klausul perjanjian jual beli listrik (PJBL).

1. Keekonomian pembangkit EBT
a. Harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dari pembangkit EBT ditentukan berdasarkan harga keekonomian berkeadilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi pasal 7 tidak berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP).
b. Harga ditetapkan berdasarkan level feed in tariff (Perpres 22/2017 tentang RUEN).
c. Harga pembelian tenaga listrik hybrid diatur dengan pertimbangan berbagai komposisi PLTD-PLTS, storage, PLTS-PLTB.
d. Pemerintah menetapkan aturan baru khusus untuk excess power dari pembangkit EBT.
e. Pemerintah menetapkan regulasi perhitungan harga pembelian listrik dari pembangkit EBT termasuk PLTS Atap.
f. Pemerintah membahas tatacara perhitungan harga pembelian listrik dari pembangkit EBT dengan berbagai stakeholder.
g. Pemerintah menyediakan insentif fiskal dan non fiskal untuk pembangkit EBT.
h. Pemerintah menyediakan kompensasi kepada PLN, jika harga pembelian listrik dari pembangkit EBT lebih tinggi dari BPP PLN.
i. Pemerintah memfasilitasi pengadaan dana dengan bunga murah untuk investasi EBT.

2. Skema BOOT
a. Amanat Mahkamah Konstitusi terkait “dikuasai oleh negara” tidak dimaknai dengan “dimiliki oleh negara”.
b.Penerapan skema BOOT dihapuskan.
c. Jika tetap diterapkan skema BOOT maka nilai aset ditetapkan berdasarkan harga pasar saat transfer.
d. Adanya opsi kepada pengembang untuk transfer aset atau melanjutkan kontrak dengan harga listrik yang akan disepakati kemudian.

3. Pengadaan Pengembang
Skema pengadaan dikembalikan sesuai aturan PP 14/2012, yakni penunjukkan langsung bukan pemilihan langsung seperti yang diatur di Permen ESDM No 50/2017.
4. TKDN
a. Implementasikan roadmap dalam Perpres No 22/2017 tentang RUEN dimana energi surya sebesar 6,5 GW dengan memanfaatkan kandungan lokal.
b. Pemerintah menyediakan insentif fiskal dan non fiskal untuk penggunaan produksi atau teknologi lokal pada pembangkit EBT.

5 Panas Bumi
a. Pemerintah memastikan tata kelola yang baik dalam hal penugasan kepada PLN untuk pembelian harga listrik dari PLTP seperti dalam Permen ESDM 17/2014, dimana seluruh proses dapat diselesaikan dalam waktu 15 hari.
b. Pemerintah diminta melobi UNESCO terkait pengembangan EBT di kawasan tropical rain forest heritage.

6. Pungutan dan Iuran
Kementerian LHK dan ESDM koordinasi dalam penetapan besaran pungutan dan iuran pemanfaatan EBT di hutan konservasi sehingga tidak memberatkan para pengembang EBT.

7. Klausul Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL)
Pemerintah atau PLN menetapkan klausul PJBL yang dapat diterima lembaga pembiayaan nasional dan internasional agar pembiayaan pembangkit dapat dilakukan dengan bunga rendah.(RI)