JAKARTA – Rencana pemerintah untuk melakukan impor gas sebagai bagian dari upaya menurunkan harga gas bagi industri tidak akan menjadi jalan keluar dan justru akan menambah masalah baru, karena masih terbatasnya infrastruktur pendukung pendistribudian gas.
Faisal Basri, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia menyatakan Indonesia pada dasarnya tidak terlalu membutuhkan impor karena pasokan gas dalam negeri relatif cukup, karena substansi permasalahan tata kelola gas di tanah air justru ada ketersediaan infrastruktur. Jika tetap lakukan impor gas maka pendistribusian gasnya juga harus dipikirkan, sehingga langkah impor gas jelas tidak akan efektif. 

“Pertanyannya kalau diimpor di industri kan tidak bisa juga dimanfaatkan kalau tidak ada pipanya (infrastruktur),” kata Faisal yang juga mantan Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas saat ditemui di seminar penambahan penyertaan modal negara bagi BUMN di Jakarta, Senin (6/2).

Menurut Faisal, infrastruktur tidak bisa dilepaskan dalam penataan gas di tanah air karena menjadi penyebab mahalnya gas. Meskipun diimpor dalam bentuk gas alam cair (liquified natural gas/LNG) yang notabene memang murah karena berhubungan dengan harga minyak dunia, jika sampai di Indonesia tetap harus melalui proses regasifikasi. 

Pemerintah juga tidak bisa lari dari tanggung jawab atas kondisi mahalnya harga gas di tanah air. Ketegasan pemerintah diperlukan untuk menetapkan harga gas yang lebih kompetitif saar harga minyak masih rendah. Pasalnya saat harga minyak tinggi pemerintah tidak ragu untuk segera menaikkan harga gas. 
“Tadinya harga gas dari Conoco Philip US$ 1,85 per MMBTU kemudian jadi US$ 5 sekian per MMBTU pada 2012 alasannya karena harga minyak naik harga gas ikut. Waktu itu harga minyak kan US$ 110 per barel, ya kalau sekarang harga minyak turun ya tinggal turun kan saja,” kata Faisal.

Saat ini rencana impor gas masih dikaji oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),  Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Wacana impor sendiri muncul karena Presiden Joko Widodo menghendaki jajarannya untuk bisa mengimplementasikan harga gas murah dibawah US$ 6 per MMBTU sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016. 

Dalam beleid tersebut disebutkan bahwa terdapat  tujuh sektor yang harus menikmati harga gas murah yaitu pupuk, baja, dan petrokimia, oleochemical, kaca, keramik, dan sarung tangan karet. Hingga saat ini baru tiga industri saja yang mendapatkan fasilitas harga murah yakni pupuk, baja dan petrokimia.

Menurut Faisal, kebijakan impor gas bagi industri tidak bisa disamakan dengan bagi pembangkit listrik yang juga baru saja disetujui pemerintah. Untuk pembangkit, alokasi gas telah disiapkan pemerintah. 
“Kalau pembangkit tenaga gas kan sudah disiapkan palng tidak lokasinya tidak jauh dengan pantai,” tandas Faisal.(RI)