JAKARTA – Harga gas yang tinggi telah memukul industri nasional. Bahkan pabrik baja skala besar, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sampai harus menghentikan aktivitas melting untuk menghindari kerugian akibat mahalnya harga gas.

“Padahal kita adalah negara yang sangat butuh baja,” ujar Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian di Jakarta.

Menurut dia, dengan menggunakan skema baru yang masih disusun pemerintah, harga gas diharapkan bisa ditekan dan produksi baja dalam negeri bisa kembali normal untuk memenuhi kebutuhan nasional.

“Kalau harga gas US$ 4 per MMBTU, maka harga baja bisa US$ 533 per ton. Nah kalau pakai skema melting baru harga segitu bisa jalan lagi. Kalau harga US$ 10 per MMBTU ya berat, meskipun kita pakai utang tetap berat,” ungkap Airlangga.

Tingginya harga gas selain membuat para pelaku usaha kesulitan dalam melakukan kegiatan operasi juga turut mempengaruhi tingkat daya saing produk yang dihasilkan, karena dipastikan produk nasional, sepeti keramik dan tekstil akan kalah bersaing dengan membanjirnya produk-produk asal Tiongkok.

Karena itu penurunan harga gas bukan untuk memgejar keuntungan atau pendapatan perusahaan semata, melainkan untuk bisa hasilkan multiplier effect di masyarakat.

“Kalau harga industri bersaing maka akan dapat multiplier effect. Apakah sektor industri bangun, wilayah bangun, tenaga kerja terbangun. Maka kita akan perjuangkan,” tegas Airlangga.

IGN Wiratmaja Pudja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan saat ini pembahasan penurunan harga gas tengah dikaji di level kementerian. Beberapa kesepakatan harus bisa diharmonisasi karena memang ada beberapa kementerian yang memiliki porsi untuk bisa terlibat dalam penurunan harga.

“Dari ESDM kan kita sampaikan struktur harga dan biaya. Ini kebijakan level atas, mana yang bisa dikurangi. Bisa PNPB bisa apa dan lain-lain Ini menyangkut penerimaan negara, jadi Menteri Keuangan koordinasi ke Menko Perekonomian,“ tandas dia.(RI)