JAKARTA – Secara resmi rezim kontrak production sharing contract (PSC) cost recovery beralih ke gross split dalam pengelolaan blok-blok migas baru seiring ditandatanganinya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split yang telah diundangkan pada 16 Januari 2017.

Adapun base split antara pemerintah dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk wilayah kerja migas dengan skema gross split yaitu 57:43 untuk minyak dan 52:48 untuk gas. Base split tersebut belum termasuk pembayaran pajak penghasilan (PPh) kontraktor.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, menyatakan dengan ditertbitkannya aturan gross split tidak serta merta mampu meningkatkan gairah investasi, namun regulasi baru menunjukkan tekad dan niat pemerintah dalam upaya memperbaiki iklim investasi di sektor hulu migas.

Skema tersebut diklaim bisa meningkatkan efisiensi. Kontraktor migas harus mengelola biaya dengan baik, dengan memperhatikan prinsip biaya dan risk management serta the best technology yang saat ini menjadi tantangan terbesar dalam industri migas. Jika para kontraktor mampu menjawab tantangan itu, baik pemerintah maupun kontraktor bisa mendapatkan keuntungan yang sama-sama baik.

“Gross split memberikan kebebasan pada kontraktor untuk menentukan keuntungan sesuai dengan efisiensinya,” kata Jonan di Jakarta.

Dia menegaskan peran vital negara tetap ada dalam skema baru tersebut. Negara masih berperan dalam memutuskan target besaran produksi dan lifting pembagian hasil dan target penerimaan negara. Apalagi dengan skema baru dipastikan tidak akan lagi membebani keuangan negara karena tidak ada lagi penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk mengganti biaya operasi kontraktor.

Pada 2016 pemerintah mencatat potensi terganggunya kestabilan APBN dengan membengkaknya angka cost recovery yang sudah dianggarkan. Pada APBN-P 2016, cost recovery ditargetkan US$ 8,4 miliar, namun pada kenyatannya total dana cost recovery mencapai US$ 11,4 miliar. Padahal produksi migas tidak mengalami peningkatan.

“Jadi nombokin US$ 3 miliar. Ini bukan kerugian, ini meleset saja. Untung harga minyak naik. Dengan gross split tidak ada (meleset anggaran). Kalau KKKS bisa efisien, keuntungan mereka juga besar,” papar Jonan.

Kontraktor juga dipastikan akan mendapatkan berbagai fasilitas atau insentif berdasarkan status produksi sekunder, kedalaman reservoir, kandungan CO2, lokasi offshore atau onshore. Serta kedalamannya, wilayah atau lokasi pedalaman, jumlah produksi, serta harga minyak dunia.

Skema gross split sudah resmi digunakan pertama kali dalam pengelolaan Blok Offshore North West Java yang dioperatori PT Pertamina Hulu Energi ONWJ. Setelah itu, ada delapan blok lainnya yang dipastikan juga akan menggunakan skema baru tersebut, yakni Blok Attaka, Tuban, Ogan Komering, Sanga-Sanga, South East Sumatra, NSO/NSO Ext, Tengah Block dan East Kalimantan. Seluruh blok tersebut juga akan dioperatori Pertamina setelah masa kontraknya habis pada 2018 mendatang.(RI)