JAKARTA – Penerapan skema gross split untuk kontrak baru pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas merupakan salah satu upaya pemerintah mengembalikan kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menjadi lebih stabil dan bebas dari ancaman atau potensi kelebihan beban anggaran.

Pasalnya, dengan kontrak bagi hasil cost recovery, tahun lalu pemerintah harus menanggung pembengkakan anggaran yang sangat besar untuk mengembalikan biaya operasi yang ditanggung kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Dari alokasi dana cost recovery pada APBNP 2016 sebesar US$ 8.5 miliar, realisasinya mencapai US$ 11.5 miliar

“Jadi APBN terkaget-kaget di akhir tahun ada tambahan biaya US$ 3 miliar, itu Rp 40 triliun. Jadi ini kita coba hindari pelan-pelan untuk kontrak-kontrak baru, jadi tidak ada cost recovery yang bebani APBN,” kata Ignasius Jonan, Menteri ESDM di Jakarta.

Kondisi ini diperkirakan terus akan terjadi, apalagi sebagian besar sumur di Indonesia adalah sumur tua yang membutuhkan biaya besar dalam pengelolaannya, sedangkan produksi migas sendiri belum dapat dipastikan.

Tidak hanya itu, gross split diyakini bisa mempermudah para kontraktor dalam melakukan procurement. Pembiayaan dan pengadaan akan diserahkan seluruhnya kepada kontraktor tanpa harus menunggu persetujuan ataupun syarat yang diajukan dari pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Menurut Jonan, skema gross split juga bertujuan untuk mengurangi waktu proses bisnis yang dirasa terlalu lama karena dalam skema cost recovery proses pengadaan seluruh KKKS menggunakan sistem procurement yang sama dengan procurement pemerintah. Karena semua pengadaan di bayar kembali oleh pemerintah sehingga memang dalam prosesnya dipastikan akan memakan waktu.
“Ini yang kami khawatirkan akan mengurangi percepatan explorasi dan exploitasi migas. sekarang pakai gross split bagi di atas biayanya terserah, kontraktor yang menanggung,” ungkap Jonan.
Lain pemerintah, lain pula pandangan KKKS. Skema cost recovery dinilai memiliki banyak manfaat, baik untuk KKKS maupun pemerintah. Namun dalam implementasinya memang memiliki kekurangan yang sebenarnya masih bisa diperbaiki pemerintah.
Erwin Maryoto, Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil, menyatakan salah satu masalah substansial dalam penerapan cost recovery adalah berlarutnya proses audit. Jika pemerintah mau membenahi permasalah tersebut maka skema cost recovery juga bisa kembali menarik gairah investasi.
“Cost recovery bagus, tapi masalahnya pada saat audit. Ini diaudit oleh beberapa instansi, ini yang bikin berlarut. Jika ini diperbaiki masih akan tetap menarik,” ungkap Erwin.
Satya W Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menyatakan akan segera meminta penjelasan langsung dari pemerintah terkait implementasi dan mekanisme ke depan skema Gross Split seperti terkait perbedaan pendapatan yang akan diterima oleh negara.Pasalnya tidak sedikit kekhawatiran timbul di antara para kontraktor lantaran bertambahnya potensi risiko usaha
“Kepastian usahanya bagaimana, sistem pemberlakukan pajak dan kepemilikan aset bagaimana, itu juga ditanyakan kontraktor,” kata Satya.(RI)