JAKARTA— Biaya investasi dan produksi di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibanding negara lainnya dinilai menjadi penyebab mahalnya harga listrik di tanah air. Selain masalah lahan, biaya perizinan, pajak dan biaya dana membuat biaya investasi menjadi sangat tinggi.

“Disini, harga lahan tiba-tiba melonjak saat akan dibebaskan. Belum lagi biaya dana (cost of fund) di sini mahal sekali. Disana cuma dua persenan. Di sana juga pengusaha dapat free tax, sedangkan disini masih ada pajaknya dan sebagainya,” ujar Arthur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) di Jakarta, Kamis (29/12).

Menurut Arthur, harga listrik energi baru terbarukan (EBT) di beberapa negara di Uni Emirat Arab memang akan lebih murah dibanding harga listrik EBT yang dijual di Indonesia. Harga listrik EBT di UEA dijual di kisaran 2,25 sen per kwh hingga 2,99 sen per kwh. Solar tenaga matahari 150 megawatt (MW) dijual dengan harga 2,99 sen per kwh, dan 200 MW 2,42 sen per kwh. Sedangkan di Indonesia, harga listrik EBT dipatok di kisaran 15 per kwh hingga 18 sen per kwh.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya membeberkan faktor-faktor yang menyebabkan harga listrik di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan di negara-negara lain. Presiden mengatakan harga listrik mahal sebab terlalu banyak beban-beban biaya yang sebenarnya tidak perlu serta masih adanya biaya makelar atau perantara.

Arthur mengatakan proses perizinan dan birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama membuat harga listrik di tanah air sulit bersaing dengan negara lain. “Lamanya perizinan ini kan biaya juga, kita dibayang-bayangi ketidakpastian,” kata dia.

Menurut Arthur, pengusaha di sana juga mendapat kesempatan membangun pembangkit dalam skala besar. Sehingga investasinya lebih efisien. Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga lebih mahal. Sebab infrastruktur belum memadai dan kondisi alam di Indonesia sangat berat.

“Biaya logistik kita di Indonesia ini kan yang tertinggi di Asean. Yakni, 29 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tingginya biaya logistik membuat biaya kita membangun infrastruktur listrik sangat tinggi,” ungkap Arthur.

Sebab itu, lanjut dia, fokus pemerintahan Jokowi-JK membangun infrastruktur secara besar-besaran sudah sangat tepat. Meski menyedot anggaran cukup besar, pembangunan infrastruktur bertujuan untuk menekan ekonomi biaya tinggi, biaya logistik dan inflasi. Dampaknya, pada jangka panjang biaya bangun pembangkit listrik akan berkurang. Apalagi kalau biaya dana menurun, land acquisition-nya lancar, birokrasi efisien dan sebagainya.

APLSI mengusulkan agar investasi dilistrik diberi insentif fiskal. Dengan demikian akan mengundang lebih banyak investor berinvestasi, sekaligus dapat membantu produsen melakukan efisiensi saat investasi dan produksi. “Supaya lebih kompetitif, mesti ada insentif fiskal,” tandas Arthur. (ES)

Tarif Pembangkit di Indonesia:

1. PLTU 4-4,95 sen per kWh

2. PLTS 9-14 sen per kWh

3. PLTBio 10 sen per kWh

4. PLTG 7,5 sen per kWh

5. PLTMH 7,5-12 sen per kWh

Sumber: APLSI