JAKARTA – Kontrak Blok North Sumatera B (NSB) diusulkan tetap menggunakan skema produksi bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split pasca Oktober 2018. Kontrak blok yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) tersebut akan berakhir pada 31 Oktober 2018.

R Gunung Sardjono Hadi, Direktur Utama PHE, mengatakan ke depan Blok NSB akan diunitisasi dengan Blok NSO yang juga dikelola PHE karena lokasinya berdekatan. Meski tetap diusulkan tetap dikelola PHE, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) mengusulkan skema kontrak yang digunakan tetap cost recovery. Padahal pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan kontrak baru blok migas menggunakan skema gross split.

“Yang NSB itu kan BPMA keputusannya. Mereka sudah dukung kami (PHE), tapi rasa-rasanya cost recovery bukan gross split,” kata Gunung kepada Dunia Energi, baru-baru ini.

BPMA, kata Gunung beralasan dengan menggunakam skema cost recovery diharapkan bisa tetap merangsang kegiatan eksplorasi di wilayah eksploitasi.

“Dia (BPMA) itu ingin merangsang eksplorasi tetap ada. Kalau konteks gross split, insentif saat eksplorasi kan tidak ada,” tukas dia.

Namun keputusan tetap berada di pemerintah, yakni Kementerian ESDM. BPMA merupakan bentuk otonomi khusus yang diberikan pemerintah kepada Pemerintah Provinsi Aceh.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh menetapkan BPMA berhak mengusulkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pada blok tertentu untuk mendapatkan kembali hak pengelolaan setelah kontrak berakhir. Begitu pula, untuk wilayah kerja yang akan dilelang, komitmen pasti kontraktor yang memiliki wilayah kerja di Aceh hingga berkontrak dengan kontraktor karena berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Dari usulan BPMA, nantinya harus menanti persetujuan gubernur dan menteri ESDM.

Marzuki Daham, Kepala BPMA saat dikonfirmasi tidak menampik usulan penggunaan skema cost recovery untuk kontrak Blok NSB. Namun itu pun masih tetap harus melakukan kajian mendalam dan pembahasan dengan seluruh pihak.

“Itu nanti akan dibahas dalam workshop Tim Aceh, BPMA dan PHE. Masih harus dikaji lebih detail dengan simulasi mungkin, karena ini sangat case specific,” ujar Marzuki.

Namun dia memastikan usulan BPMA sejauh ini adalah yang sudah disampaikan ke Gubernur Aceh baru terkait kontraktor pengelola Blok NSB dan usulan tersebut juga sudah disetujui oleh gubernur. Proses selanjutnya, selain pembahasan skema kontrak juga diputuskan hak partisipasi (participating interest/PI) daerah serta komitmen pengembangan ke depan.

“Gubernur Aceh menyetujui rekomendasi BPMA untuk PHE melanjutkan pengelolaan NSB. Gubernur sudah merekomendasikan hal itu ke Menteri ESDM. Selanjutnya Tim Aceh, BPMA dan PHE akan menyelesaikan hal terkait bentuk kontrak, participating interest, komitmen ke depan, BUMD dan lain-lain,” papar Marzuki.

Blok NSB bersama NSO merupakan blok yang memasuki masa terminasi kontrak pada 2018, selain Blok East Kalimantan, Attaka, Tuban, Ogan Komering, Sanga Sanga, Southeast Sumatera dan Blok Tengah. Saat ini rata-rata produksi Blok NSB untuk kondensat sebesar 2.500 barel per hari (bph) dan gas 70 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Seiring rekomendasi dari Pemprov Aceh, Kementerian ESDM sudah memberikan isyarat akan memberikan kontrak pengelolaan Blok NSB ke PHE.

Arcandra Tahar, Wakil Kementerian ESDM, menegaskan seluruh blok terminasi akan menggunakan skema kontrak baru yaitu gross split. Hingga kini, Kementerian ESDM mengaku belum ada pembahasan terkait usulan BPMA yang ingin menggunakan skema cost recovery di Blok NSB.

“Yang jelas semua kontrak-kontrak blok terminasi itu harus gross split semua, sudah ditetapkan begitu kan,” kata Arcandra.(RI)