JAKARTA –  Pemerintah diminta tidak terburu-buru dalam memutuskan perkara lapangan Kepodang, Blok Muriah yang telah dideklarasikan Petronas Carigali Ltd dalam kondisi Kahar. Pasalnya sampai saat ini belum terbukti secara jelas apa penyebab dari kondisi kahar tersebut hingga Petronas menyatakan force majeure.
Jugi Prajogio, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, menyatakan force majeure baru dinyatakan oleh Petronas Carigali selaku operator. Pihak lain yang berkepentingan, yakni PT Kalimantan Jawa Gas (KJG) selaku pemilik pipa transmisi yang mengalirkan gas dari lapangan Kepodang ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Tambak Lorok serta PT PLN (Persero) selaku konsumen gas belum menyepakati force majeure tersebut.
“Baru Petronas saja itu,  sementara Kalimantan Jawa belum.  Harusnya ada pihak independen yang temukan masalahnya. Jadi ini masih klaim sepihak, kalau force majeure harus diterima oleh semua pihak,” kata Jugi kepada Dunia Energi, Rabu (30/8).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya telah menunjuk Lemigas untuk melakukan kajian termasuk kondisi reservoir lapangan Kepodang.
Seperti diketahui PLTGU Tambak Lorok saat ini hanya menerima pasokan gas 70 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) – 80 MMSFCD dari lapangan Kepodang dari kontrak yang seharusnya 116 MMSCFD selama 12 tahun sejak 2015 atau hingga 2027.
Petronas sebagai operator menyatakan gas dari Kepodang tidak bisa memenuhi volume yang disepakati karena produksi gas decline atau anjlok karena kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan plan of development (PoD). Bahkan produksinya diproyeksikan hanya akan bertahan tidak lebih dari 2019.
Menurut Jugi, BPH Migas akan segera memanggil berbagai pihak untuk mencari solusi bersama agar PLTGU Tambak Lorok tetap mendapatkan pasokan gas.
“Kita akan sinkronisasi mudah-mudahan ada jalan keluar. Mungkin saja nanti ada jaringan pipa lain yang punya aliran gas bertemu dengan pipa KJG atau sumber gas lainnya,” ungkap dia..
Komaidi Notonegoro,  Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan force majeure memang seharusnya tidak hanya diputuskan oleh satu pihak. Pasalnya banyak mata rantai yang saling berkaitan dalam proses pendistribusian gas.
Terlebih permintaan force majeure datang dari kontraktor yang seharusnya sudah memiliki basis perhitungan produksi yang telah disepakati bersama pemerintah dalam hal ini SKK Migas.
“Memang tidak bisa diputuskan langsung itu kan salah satu pihak saja sementara rantainya banyak, selain produsen tentu pembelinya juga ada,” kata Komaidi.(RI)