Endah Rumbiyanti (tengah) diapit penasehat hukumnya, Maqdir Ismail (kiri) dan Manager Corporate Communication Chevron, Dony Indrawan (kanan) sesaat usai divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim bioremediasi.

Endah Rumbiyanti (tengah) diapit penasehat hukumnya, Maqdir Ismail (kiri) dan Manager Corporate Communication Chevron, Dony Indrawan (kanan) sesaat usai divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim bioremediasi.

JAKARTA – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana membahas lebih intensif vonis yang dijatuhkan terhadap para terdakwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Langkah ini menyusul dissenting opinion (perbedaan pendapat, red) yang diajukan tiga Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atas vonis terhadap Endah Rumbiyanti dan Kukuh Kertasafari.   

Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Kamis, 18 Juli 2013, juga menjatuhkan vonis bersalah atas Endah Rumbiyanti. Manager Lingkungan Chevron Indonesia ini divonis bersalah dalam kasus bioremediasi, dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Sama dengan vonis yang dijatuhkan terhadap sejawatnya, Kukuh Kertasafari, sehari sebelumnya.

Yang menarik, vonis majelis hakim tersebut tidak bulat. Karena hakim anggota Slamet Subagyo, Sofialdi, dan Anas Mustakim justru berbeda pendapat dengan dua hakim lainnya. Hakim Sofialdi menegaskan, ahli yang digunakan Kejaksaan Agung (Kejagung) memiliki konflik kepentingan, sehingga keterangannya sebenarnya tidak bisa dijadikan dasar penuntutan.

Konflik kepentingan ini kata Sofialdi berdasarkan keterangan dalam persidangan yang menyebut Edison pernah menjadi kuasa dari PT Putra Riau Kemari yang pernah mengikuti proses pelelangan proyek bioremediasi Chevron. “Pendapat ahli (Edison Effendi) beralasan untuk dikesampingkan. Sedangkan ahli bioremediasi yang dihadirkan terdakwa, independensinya tidak perlu diragukan,” imbuh Sofialdi.

Sofialdi juga menegaskan, Endah tidak terbukti menyalahgunakan kewenangan sebagaimana dakwaan subsidair yakni Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia menyatakan pelaksanaan bioremediasi dilakukan sesuai Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 128/2003. “Semua sesuai persyaratan teknis yang dikehendaki Kepmen Lingkungan Hidup,” tuturnya.

Selain Sofialdi, hakim anggota Slamet Subagyo juga menyatakan Endah tidak bersalah. Alasan yang digunakan, sama dengan hakim Sofialdi bahwa pelaksanaan bioremediasi Chevron, sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sementara hakim anggota Anas Mustakim menilai, Endah lebih tepat dikenakan dakwaan Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor.

Hanya hakim ketua Sudharmawati Ningsih dan satu hakim anggota Antonius Widiantoro, yang menyatakan Endah terbukti bersalah sebagaimana dakwaan subsider yakni Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Herannya, meski ada tiga yang berbeda pendapat dan hanya dua yang sependapat, Hakim Ketua Sudharmawati Ningsih tetap memvonis Endah bersalah, dan mengganjarnya dengan penjara 2 tahun, denda Rp 200 juta subsidair 3 bulan kurungan. Atas putusan ini, Endah mengajukan banding.

Sehari sebelumnya, Kukuh juga divonis penjara dua tahun dan denda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan. Vonis terhadap Kukuh juga tidak bulat, karena Hakim Anggota, Slamet Subagyo, mengajukan dissenting opinion  dan menyatakan Kukuh tidak bersalah. “Kukuh tidak terbukti menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 31 tahun 1999 juncto UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi,” kata Slamet dalam persidangan Rabu, 17 Juli 2013.

Menanggapi putusan yang tidak bulat ini, Anggota Komisi III DPR RI, I Gede Pasek Suardika menyatakan, akan membawa persoalan vonis hakim bioremediasi itu ke sidang Komisi III DPR. Menurutnya, perbedaan pendapat dalam putusan majelis hakim, memang biasa terjadi. Namun fakta itu perlu dicermati, karena pertimbangan dari hakim yang berbeda pendapat juga perlu dibahas.

“Masih ada masalah yang kita harus perdebatkan. Dengan hal tersebut publik menjadi tahu (sejauh mana kebenaran dalam kasus bioremediasi, red),” jawab Pasek saat dihubungi pada Kamis, 17 Juli 2013.

Selain itu, lanjut Pasek, Komisi III DPR perlu membahas adanya temuan hasil penyidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan proses hukum kasus bioremediasi ini melanggar HAM. Temuan Komnas HAM itu, kata Pasek, sudah pernah diadukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR beberapa waktu lalu.

Dihubungi secara terpisah, Manager Corporate Communication Chevron Indonesia, Dony Indrawan juga mengaku heran, bagaimana Hakim Ketua Sudharmawati Ningsih bisa berkesimpulan vonis untuk Endah Rumbiyanti sudah bulat, sementara ada tiga hakim yang berbeda pendapat. “Kalau dua dari lima orang sependapat , lalu tiga tidak sependapat, apa itu bisa disebut putusan bulat? Ini nasib orang lho, seharusnya penegak hukum tidak main-main,” ujarnya.

Dony juga menegaskan bahwa baik Kukuh maupun Endah langsung mengajukan banding, atas putusan majelis hakim itu. Meski saat menyatakan “akan banding” keduanya langsung ditinggalkan begitu saja oleh hakim ketua, seolah tidak diberi kesempatan berkata-kata. “Divonis satu hari pun rekan-rekan kami akan banding, karena mereka yakin sama sekali tidak bersalah dalam kasus ini,” tegas Dony.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)