JAKARTA – Kesepakatan pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjaga harga BBM jenis pertalite dan solar tidak naik dengan menambah anggaran subsidi dalam APBN 2022 sebesar Rp71,8 triliun untuk BBM dan LPG dinilai positif menurut anggota Komisi Energi (VII) DPR. Namun pemerintah diminta untuk komitmen merealisasikan pembayaran kompensasi dan subsidi kepada Pertamina sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut.

Dyah Roro Esti Widya Putri, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan sudah sewajarnya Pertamina sebagai badan usaha kepanjangan pemerintah diberi tugas mengadakan dan mendistribusikan BBM subsidi dan penugasan ke seluruh wilayah Indonesia dengan harga terjangkau. Akan tetapi, negara tidak serta merta lepas tangan begitu saja membiarkan Pertamina sebagai BUMN yang ditunjuk mengadakan dan mendistribusikan BBM subsidi dan penugasan menanggung beban sendiri.
“Pemerintah harus turun tangan dengan cara menuntaskan kewajibannya kepada badan usaha yang sudah menjalankan tugasnya,” ujar Dyah Roro saat diskusi bersama media secara virtual, belum lama ini.

Menurut Dyah Roro, dalam skema pengadaan BBM penugasan maupun subsidi Pertamina yang menyediakannya. Setelah itu baru pemerintah mengganti semua biaya yang telah dikeluarkan Pertamina sehingga tidak ada beban ekstra yang ditanggung badan usaha. Faktanya, Pertamina menanggung biaya terlebih dahulu untuk pengadaan dan pendistrbusian BBM penugasan dan subsidi. Kompensasi akan diberikan pemerintah dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.

“Kami akan pertanyakan kepada pemerintah jangan sampai badan usaha dibebankan terlalu lama menunggu pencairan kompensasi. Kalau dibebankan, bagaimana kondisi perusahaan? Kita harus perhatikan Pertamina sebagai BUMN,” katanya.
Dyah Roro menyebutkan, Pertamina telah menjalankan tugas pendistribusian BBM dengan baik ditengah melonjaknya harga minyak dunia. Harga BBM Penugasan dan Subsidi pun tidak naik, kecuali BBM nonsubsidi yang menjadi hak badan usaha menaik-turunkan harga sesuai perkembangan harga minyak global.
Sebagai korporasi, lanjut Dyah Roro, Pertamina juga perlu dijaga agar arus kas atau kondisi finansial tetap sehat. Apalagi untuk mengadakan stok BBM tidak mudah dan butuh pendanaan tidak sedikit, bahkan jika Pertamina sampai harus berhutang karena itu kepastian pembayaran kompensasi yang dijanjikan oleh pemerintah sangat krusial bagi keberlanjutan perusahaan.

“Apa yang dilakukan pertamina jaga stok BBM nasional, itu harus diapresiasi, tapi perlu diperhatikan kondisi finansial secara keseluruhan. Keberpihakan pemerintah ingin lakukan kompensasi terhadap sesuatu harus dijalankan sesuai apa yang sudah ditentukan,” ujarnya.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, mengatakan skema kompensasi yang diberikan kepada Pertamina sudah tepat. Namun, waktu pembayaran kompensasi yang harus jadi perhatian pemerintah. Apalagi masyarakat mengetahui bahwa Pemerintah menjanjikan kompensasi kepada Pertmaina ketika harga BBM dibawah harga keekonomian, akan tetapi mekanisme pembayarannya kerap jadi masalah.

“Masalahnya adalah waktu pembayaran kompensasi yang tidak reguler. Saya mendesak pemerintah agar waktu untuk membayar dana kompensasi ini secara reguler dan tepat waktu,” katanya.
Pemerintah sebenarnya mengakui Pertamina terjerembab dalam jurang kerugian dengan menjual BBM dengan harga seperti sekarang. Untuk itu pembayaran kompensasi bisa jadi angin segar bagi keuangan perusahaan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menjelaskan harga keekonomian Pertalite, Solar, Minyak Tanah, Gas LPG sudah jauh di atas harga asumsi Indonesia Crude Price (ICP) yang ditetapkan US$63 per barel. Saat ini harga keekonomian meningkat tajam sejalan dengan ICP yang bertengger di atas US$ 100 per barel. Dengan demikian harga keekonomian Minyak Tanah berubah menjadi Rp 10.198 per liter, Solar menjadi Rp 12.119 per liter, gas LPG Rp 19.579 per kilogram, dan Pertalite Rp 12.665 per liter.
Dengan perubahan tersebut, lanjut Sri Mulyani, arus kas Pertamina sejak awal tahun ini manjadi negatif karena harus menanggung selisih antara harga jual eceran dan harga keekonomian dengan harga ICP di atas US$ 100 per barel. Apalagi Pertamina harus mengimpor BBM dengan kurs dollar AS sehingga ini menyebabkan kondisi keuangan perusahaan turun.
Menurut Menkeu, arus kas operasional Pertamina pada Maret 2022 tercatat negatif US$ 2,44 miliar. Jika tidak ada tambahan dari pemerintah, pada Desember 2022, arus kas operasionalnya akan defisit US$ 12,96 miliar. Selain itu seluruh rasio keuangan Pertamina juga mengalami pemburukan yang signifikan sejak awal tahun ini. Hal ini dapat menurunkan peringkat kredit (credit rating) Pertamina dan juga akan berdampak pada peringkat kredit pemerintah.

Asumsi makro dalam APBN 2022 pun berubah seiring peningkatan ICP sehingga pemerintah mengajukan tambahan subsidi energi sebesar Rp74,9 triliun, Rp71,8 triliun di antarnya untuk BBM dan LPG. Untuk kompensasi BBM dan LPG diperkirakan mencapai Rp324,5 triliun. Ini terdiri dari tambahan kompensasi tahun 2022 sebesar Rp 216,1 triliun yang terdiri dari kompensasi BBM sebesar Rp 194,7 triliun dan kompensasi listrik sebesar Rp 21,4 triliun. Selain itu, ada juga kurang bayar kompensasi hingga tahun 2021 sebesar Rp 108,4 triliun yang terdiri dari kompensasi untuk BBM sebesar Rp 83,8 triliun dan kompensasi listrik sebesar Rp 24,6 triliun. (RI)