JAKARTA – PT PLN (Persero) menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang disorot lantaran memiliki utang cukup besar yakni lebih dari Rp600 triliun. Di sisi lain keuangan perusahaan tidak sedang dalam posisi baik-baik saja, meskipun mampu membukukan laba bersih sepanjang 2020. Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan jika tidak ada perubahan kebijakan pemerintah, maka PLN berpeluang besar bernasib seperti Garuda Indonesia yang saat ini terancam gulung tikar.

Menurut Komaidi, pemerintah perlu lebih proporsional dalam memperlakukan PLN. Pemerintah perlu lebih tertib memisahkan mana administrasi negara dan mana administrasi usaha (BUMN). Kebijakan subsidi untuk PLN tidak dapat hanya berdasarkan ruang fiskal yang ada, tetapi perlu konsisten dengan ketentuan UU Keuangan Negara bahwa kerugian usaha yang timbul akibat selisih harga wajar dan harga penugasan harus diganti penuh oleh negara.

“Jika tidak terdapat perubahan kebijakan, maka kekhawatiran Menteri BUMN bahwa nasib keuangan PLN akan menyerupai keuangan Garuda Indonesia sangat berpeluang terjadi,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Senin (12/7).

Komaidi mengatakan berdasarkan data yang diperoleh dari PLN, utangnya hingga 2020 mencapai Rp649 triliun. Sementara data yang ada juga menunjukkan, selama 2010-2020 laba yang dibukukan PLN sekitar Rp3 triliun–Rp 11,57 triliun. Tertinggi dibukukan pada 2014 sebesar Rp11,06 trilun dan tahun 2018 sebesar Rp11,57 triliun. Pada 2020, PLN membukukan laba sebesar Rp5,99 triliun.

“Jika PLN setiap tahunnya diasumsikan dapat membukukan laba sebesar Rp10 triliun dan seluruhnya digunakan untuk membayar hutang, maka PLN memerlukan waktu sekitar 64 tahun untuk melunasi seluruh hutangnya,” ujar Komaidi.

Komaidi menilai, kebijakan TDL dan subsidi listrik yang cenderung kurang konsisten berdampak terhadap kinerja keuangan PLN menjadi kurang optimal. “Laba bersih yang berhasil dibukukan PLN relatif lebih rendah dari potensinya,” kata Komaidi.(RI)